Sunday, April 22, 2007

Pejuang HAM

Tom Saptaatmaja


Munir pejuang HAM asal Jatim wafat Selasa 7 September 2004. Kita, khususnya warga Jatim, ikut berbelasungkawa. Munir tutup usia dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Almarhum Munir ke Belanda untuk melanjutkan studi Hukum Kemanusiaan pada Universitas Utrecht atas beasiswa ICCO, Organisasi Lintas Gereja untuk Kerja Sama Pembangunan.

Kepada seorang kerabatnya, Munir mengatakan ingin melanjutkan studi sambil istirahat. Tak dinyana, dia akhirnya istirahat untuk selamanya (Radio Nerdeland 8 September 2004).
Munir dikenal sebagai narasumber yang sangat gampang untuk dikontak. Penulis merasakan, di mana pun Munir gampang dihubungi untuk talkshow. Kalau lagi di jalan, dia akan menjawab lewat ponselnya: "Mas, sebentar ya, saya berhenti dulu."

Dia tidak pernah menolak untuk diwawancarai atau berdiskusi. Biasanya, dalam setiap diskusi, Munir juga tak sungkan-sungkan untuk mengekspresikan keyakinannya. Tak peduli hal itu akan menyinggung narasumber lain yang juga hadir di studio. Keyakinan dan komitmen Munir untuk perjuangan HAM di negeri ini memang sangat tinggi. Itu sudah dimulai ketika dia terjun langsung membela para buruh di Surabaya di akhir 1980-an dan awal 90-an. Tidak heran,
teramat banyak -terutama korban kekerasan dan pelaggaran HAM di Indonesia dan aktivis HAM- yang menyukai dan mencintai Munir.

Setiap aktivis HAM dan demokrasi di Indonesia pasti kenal nama Munir. Di mancanegara pun dia berkibar. Di forum internasional mana saja, asal saja masalah HAM Indonesia menjadi tema pembicaraan, kehadiran Munir bisa dipastikan. Tidak kebetulan bahwa dia pada 2000 dihormati oleh "The Right Livelyhood Award", dengan pemberian Roll of Honour, untuk keberanian dan dedikasinya dalam perjuangan untuk hak-hak manusia dan supremasi sipil atas militer di Indonesia.

Sebelum itu, pada 1998, Munir dihormati di Indonesia dengan pemberian Yap Thiam Hien Human Rights Award kepadanya. Munir pernah mengatakan bahwa hak-hak manusia dalam pengertian solidaritas manusia telah menciptakan suatu bahasa baru yang universal dan sama yang melintasi batas-batas ras, gender, etnis, atau religi.

Karena itu, bagi penulis, Munir merupakan perintis menuju dialog bagi semua orang. Dia pejuang HAM lintas agama, lintas kultural. Seorang pejuang HAM sejati memang tidak akan pilih-pilih dalam memperjuangkan kemanusiaan. Munir lantang mengecam pelanggaran HAM di Aceh yang mayoritas warganya muslim.

Munir juga geram melihat penyalahgunanan HAM di Timtim atau Papua yang mayoritas warganya kristen. Bagi pejuang HAM, kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada sekadar sekat-sekat yang memisahkan kemanusiaan.

Boleh jadi, karena alasaan itu, ICCO, Organisasi Lintas Gereja untuk Kerja Sama Pembangunan Belanda, mengundang Munir untuk studi hukum lebih lanjut di Negeri Kincir Angin itu. Ketika pihak organisasi ICCO dan Kerkinactie ditanya Radio Nederland, apakah perbedaan agama Munir yang muslim dan pihak ICCO tidak menjadi kendala, Feije Duim dari organisasi itu menjawab, "Oh sama sekali tidak. Dari segi agama, siapa pun yang mengejar hak, keadilan, perdamaian bisa menjadi sahabat. Saya pikir untuk Islam begitu, untuk
Kristen juga begitu.

Jadi, perjuangannya sama, jadi menganggap itu kawan seperjuangan. Sebenarnya, agama di situ berperan sebagai pendorong, tapi tidak untuk membedakan atau memisahkan satu dari yang lain."

Ketika ditanya lagi apakah bagi Munir sendiri yang muslim, itu bukan hambatan untuk bersahabat dengan sebuah organisasi lintas gereja? Feije Duim menjawab, "Ya memang, Munir muslim. Itu keyakinan kehidupannya dan itu main peran. Tetapi, untuk mencari sekutu dalam perjuangan, demi keadilan dan perdamaian, perbedaannya tidak main peran. Jadi, di dalam gerakan human rights di seluruh Indonesia, saya kira begitu. Dari segi agama, tidak ada
persoalan." (Gema Warta Radio Nederland, http://www.ranesi.nl 9/9).

Sikap Munir yang mantan aktivis HMI atau ICCO rasanya perlu digarisbawahi. Sebab, selama ini amat gampang dalam beragama kejadian apa pun di mana pun di belahan dunia ini, termasuk di Jatim, Islam-Kristen dipertentangkan. Di tengah isu terorisme, dalam konflik di Iraq, dalam kampanye pilpres di Jatim, isu-isu yang mempertentangkan Islam-Kristen ini amat gampang diembuskan.

Padahal, dalam keberpihakan pada hak asasi manusia, sebenarnya Islam-Kristen punya visi sama. Maka, mereka yang sudah mencapai level kematangan beriman dan berpikir seperti Munir bisa bekerja sama dengan siapa pun, termasuk dengan yang bukan muslim.
Penulis masih ingat ketika berdialog dengan Munir menjelang Natal 1995, menyangkut agama dan HAM, Munir melontarkan gagasan yang sangat menarik. Menurut dia, perbedaan dalam hal beragama jangan pernah menjadi kendala untuk memihak pada kemanusiaan, apalagi jika manusia-manusia lemah mengharapkan bantuan kita.

Munir menyentuh hati ketika berkata, "Kalau ada buruh yang kecelakaan di jalan atau di tempat kerja, siapa pun yang tahu harus segera menolongnya, tidak perlu melihat dulu agama buruh itu apa, tak perlu berpikir apakah tindakan menolong kita sesuai dengan ayat sekian Quran atau Injil."

Sikap Munir itu tidak bermaksud mempertentangkan tindakan membela HAM dengan membela agama. Kalau dikaji dan direfleksikan dengan jujur, tidak ada dikotomi antara tindakan membela HAM dengan membela agama. Islam, misalnya, merupakan agama rahmatan li al-'alamin (rahmat bagi alam semesta). Sementara itu, Injil yang menjadi dasar iman umat Kristen berarti pertama-tama adalah kabar baik bagi dunia ini.

Jadi, jika esensi kedua agama itu disinergikan, rasanya dunia ini akan jadi lebih baik. Bahkan, di tengah isu terorisme dan pelanggaran HAM hebat seperti akhir-akhir ini, Munir dan pejuang HAM yang beragama apa pun sudah menunjukkan teladan bahwa kita sebenarnya bisa bekerja sama.

Source: Jawa Pos, 13 September 2004

Pertanyaan:
1. Buatlah timeline sejarah hidup Munir berdasarkan teks di atas?
2. Menurut kelompok, bagaimanakah persona atau kepribadian hidup munir?
3. Terangkan perbedaan antara kebebasan eksitensial dan sosial? Apakah perjuangan sosial Munir merenggut kebebasan pribadinya?
4. Bagaimana perjuangan munir terhadap:
• Kaum Miskin
• Dialog agama
Berikan tanggapan anda terhadap dua hal tersebut?