Sunday, April 22, 2007

Keadilan

“Nggak adil” kata seorang anak ketika ia mendapatkan bagian kuenya yang kecil, yang lain dari beberapa temannya, “kok aku beda dengan yang lain.” “Aku mau mendapatkan bagian yang sama dengan yang lain, mamaku tidak pernah berbuat seperti ini kepadaku” tambahnya.
Kata “nggak adil” juga bisa dikatakan dalam sebuah permainan monopoli oleh sekelompok orang jika ada seseorang atau beberapa orang curang dalam permainan atau tidak mengikuti aturan tertulis maupun yang tak tertulis.

Begitu juga kata ini akan muncul ketika sebuah lembaga LSM tengah meneliti kasus mengenai kesenjangan sosial yang begitu tinggi di kota besar dan juga lobi para pegusaha dan pejabat yang begitu dekat dengan penentu atau pengambil keputusan dalam hukum dengan tindakan korupsi atau semacamnya.

Bila mengacu pada kisah-kisah singkat di atas bisa disimpulkan bahwa yang namanya keadilan itu adalah kesamaan, kesesuaian, atau menerima common sense (atau hukum/jus) yang berlaku. Keadilan dikatakan sebagai pusat dari dua respek, yaitu respek pada legalitas di sebuah kota dan respek pada kesamaan diantara individu. Maka secara umum bisa disimpulkan bahwa yang adil itu adalah yang sesuai hukum atau yang fair, sedangkan yang tidak adil adalah yang tidak sesuai dengan hukum atau yang tidak fair .

Sudah ada dalam pemikiran sejak Aristoteles bahwa bertindak adil adalah bertindak dalam arti sesuai dengan hukum. Keadilan itu menjalankan sesuatu sesuai dengan yang ditetapkan sebagai yang adil, yaitu dalam hukum ataupun norma, yang kemudian akan ditindaklanjuti tanpa ada evaluasi dan refleksi terhadap sebuah kasus tertentu karena hanya mengikuti hukum yang ada atau menurunkan sikap yang sudah tertulis dan ditetapkan. Bila mengikuti logika ini maka hukum sebagai penentu keadilan itu legal karena selalu menarik putusan sebagai turunan atau keluasan. Ini mengartikan bahwa keadilan sebagai fakta legal lebih penting daripada keadilan yang merupakan nilai (value). Keadilan menurut paham ini absolut terejawantah dalam hukum legal.

Hobbes menyetujui hal ini. Ia menyatakan bahwa “yang membuat hukum itu adalah otoritas dan bukan kebenaran .” Maka keadilan dalam pemahaman ini akan dipertanyakan karena keadilan dalam konsep sampai sekarang ini bukanlah keadilan yang murni atau bebas nilai. Keadilan menjadi relatif karena tergantung otoritas yang membuatnya. Hukum ditetapkan lebih tergantung pada mayoritas dan kekuasaan untuk membuat mereka tetap bisa eksis, dan diragukan sebagai hukum yang berasal dari nilai, intelegensi, dan demi tujuan kemanusiaan. Maka kehidupan akan tetap berjalan jika kesamaan dan legalitas itu aneh atau ganjil, namun keadilan tidak akan berjalan jika kondisinya demikian.

Plato, lewat Politeia, menyatakan bahwa keadilan itu adalah yang menjaga setiap orang berada di wilayahnya atau posisinya masing-masing, sesuai bakat dan kodratnya, demi keharmonisan dalam keseluruhan. Keadilan adalah memberikan yang sama kepada setiap orang sesuai dengan kemampuan dirinya. Namun apakah ini akan berjalan jika kita menyadari bahwa manusia itu dilahirkan tidak sama dan memiliki kebebasan masing-masing. Rousseau menyatakan bahwa keadilan itu adalah kehendak umum . Keadilan itu tergantung dari kehendak umum dan itu berasal dari kekuatan yang umum. Keadilan itu bisa dikatakan relatif karena kehendak umum dalam suatu waktu bisa saja berubah dan kemudian penentapan hukum menjadi berubah. Namun, setiap manusia memang pada dasarnya tidak sama sehingga keadilan akan sangat beguna untuk meminimalisir setiap kehendak individu yang berbeda dan itu diwujudnyatakan secara legal dalam hukum. Maka, hukum itu tetap hukum, entah itu adil atau tidak. Namun, hukum yang adil ini tidaklah sama dengan keadilan yang memiliki nilai (equality dan equity) atau keadilan yang sebagai keutamaan.

by. windar santoso