Monday, April 30, 2007

PERSONA

Apakah yang kita lihat dari setiap manusia? Kekayaannya? Penampilan? Kesuksesan? Istrinya? Apakah semua ini akan membuat kita mengenali siapakah manusia itu sebenarnya. Semua itu merupakan ciri fisik manusia saja. Manusia akan terlihat nyata sebagai manusia bila kita bisa melihat kedalaman dirinya. Kedalaman yang mencerminkan keutuhan dirinya, yaitu personanya.

Maka, jangan heran jika manusia itu dikatakan sebagai rahasia karena persona manusia harus diungkap bak rahasia. Manusia harus mengungkap dirinya sampai titik darah penghabisannya, sampai ia benar-benar menemukan dirinya siapa dan untuk apa/untuk siapa? Manusia selalu mencari dan mencari dalam hidupnya sampai ia mengeri benar-benar dirinya dan kemudian memberikan apa yang ia temukan dengan ungkapan-ungkapan kemanusiaan.

APA DAN SIAPA MANUSIA
Manusia adalah mahluk hidup. Sebuah definisi klasik mengatakan bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal budi. Manusia adalah sama dengan hewan, dalam hal fungsi, hanya ditambah dengan budi. Kesamaan dengan hewan tersebut tidak bisa dipandang secara keseluruhan sehingga manusia dengan perbedaannya menjadi unik. Satu contoh adalah seni. Seni merupakan hasil olahan manusia lewat budaya-budaya yang dialami. Mungkin ada beberapa hewan yang memiliki kebiasaan yang menarik namun kebiasaan hewan tersebut tidak bisa diolah menjadi seni. Manusia mampu mengolah budaya dengan budinya sehingga dengan demikian manusia menjadi pribadi yang memang berbeda secara keseluruhan dengan segala hewan di dunia ini. Keunikan manusia ini menunjuk pada kodrat manusia. Maka, manusia sebagai hewan yang berbudi merupakan adanya manusia yang mencerminkan kodrat manusia.

Manusia juga merupakan mahluk yang berada di dunia. Secara sederhana, manusia bisa dianalogikan dengan barang-barang yang juga berada di dunia. Manusia melekat di dunia ini dan bersatu dengan barang-barang lainnya, artinya manusia merupakan jaringan hidup dengan barang-barang tersebut. Satu analogi seperti: manusia dan dunia bagaikan uang di dompet. Konteks dompet selalu erat terkait dengan uang. Uang bagaikan barang yang berada dalam lingkup dompet. Namun, perbedaan manusia dengan uang adalah manusia selalu ada di dunia ini dan dompet seringkali tidak berisi uang. Selain itu manusia juga merupakan roh yang tlah menjelma menjadi daging. Ada kehidupan di dalamnya. Dengan demikian, manusia tidak semata-mata seperti barang atau seperti uang dalam dompet. Kehidupan yang ada menjadikan manusia dibedakan dengan barang. Manusia tidak pernah dikatakan sebagai sebutir manusia.

Selain itu, keunikan lain adalah kesadaran manusia. Kesadaran membuat manusia menjadi semakin sempurna. Dengan kesadaran, manusia mampu memahami apa dirinya dan juga siapa dirinya. Kesadaran membawa manusia pada keadaan sebagai manusia yang memiliki, menguasai, dan memastikan diri sendiri. Dengan kesadaran, manusia bukan saja apa, melainkan juga mengerti kalau dia itu siapa.. Bila manuisa bergerak atau berbuat sesuatu maka ia sendirilah yang menjadi subjek yang bergerak atau berbuat. Dengan demikian kebebasan dan kemudian pilihan yang berdasar kebebasan merupakan ciri manusia sebagai siapa. Manusia dengan demikian menjadi subjek dan bukan lagi menjadi objek atau barang yang ada di dunia. Dengan kebebasan, pemberian dari kesadaran, manusia dapat menentukan setiap pilihan tindakannya yang sama sekali berbeda dengan yang lainnya, bahkan budayanya.

Dengan demikian kita ketahui bahwa manusia itu memang berbeda dengan mahluk hidup lainnya atau setiap barang di dunia ini. Artinya: manusia bukanlah hanya apa, melainkan pula siapa. Manusia bukan hanya barang jasmani, meskipun ia bertumbuh menurut hukum-hukum biologi dan kimia. Jadi, manusia pada hakekatnya bukanlah barang atau benda, bukan apa atau siapa. Lebih tepatnya apa-siapa dan siapa-apa. Manusia berupa apa, agar supaya berupa siapa.

MANUSIA SEBAGAI PERSONA
Manusia sebagai persona adalah manusia yang mengerti akan keutuhan dirinya. Ia menjadi mahluk yang dapat berkata AKU dengan sadar dan insaf. Persona manusia tidak pernah menjadi objek, tidak pernah diperlakukan sebagai alat. Persona manusia adalah subjek yang harus kita ungkap lewat pengalaman dan pengetahuan.

Persona manusia ingin menunjukan kerohanian atau religiusitas manusia. Dalam persona hubungan dengan sesama berbasis cinta kasih. Persona tidak menimbulkan konflik atau tidak memandang yang lain sebagai mahluk jasmani semata. Hubungan yang ada adalah saling memberi dan menerima atau saling menyerahkan diri. Dalam hubungan persona ini tidak akan ada lagi yang dikurangi atau yang hilang, melainkan menjadi penuh atau utuh. Religiusitas manusia yang persona akan memperlihatkan manusia yang terbuka bagi orang lain dan yang mau menyerahkan diri dalam cinta kepada orang lain. Maka, untuk sampai ke diri yang rela dengan penuh hati dan cinta untuk memberikan dan menerima yang lain tersebut dibutuhkan pengalaman penyangkalan diri dan kerendahan hati. Dengan demikian, egoisme manusia persona akan berkurang. Persona mampu memberikan diri sendiri dengan tak habis-habisnya. Pengalaman semacam ini tidak ditemukan oleh mahluk lain.

Dengan demikian, hubungan antar persona merupakan hubungan antar subjek (subjek-subjek). Dalam hubungan ini muncul inter-komunikasi yang mampu masuk ke kedalaman diri manusia. Makin banyak subjek menerima, makin tegak ia berdiri sebagai persona. Bila hal ini berlanjut maka kemurnian persona akan terwujud.

KEMURNIAN PERSONA
Manuisa itu persona sejak lahir. Pemahaman ini sepertinya ingin mengatakan bahwa manusia dari sananya sempurna. Pemahaman ini juga didukung oleh pandangan yang mengatakan bahwa manusia itu berdaulat dan berkuasa, berdiri sendiri, mampu mengalahkan alam sekitarnya sehingga pandangan kesempurnaan sepertinya mutlak. Namun, kita juga tidak boleh melupakan kalau manusia itu ada juga yang persona, namun juga tidak sempurna.

Manusia dapat sampai pada personanya bila manusia mau mengerti dan memahami arti dari pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman akan mendidik manusia untuk bisa sampai pada personanya, yang murni. Persona manusia harus terus diungkap dengan pengetahuan dan pengalaman tersebut. Jadi, manusia harus mengungkap dirinya untuk mencapai kepersonaannya.

Suatu contoh misalkan ada seorang raja yang mangkat. Putra mahkotanya masih muda, belum dewasa. Sekalipun demikian ia dijadikan raja. Jadi, sudah raja betul-betul. Tetapi, raja yang kecil ini masih harus bertumbuh, menjadi dewasa, harus melalui proses yang agak lama sebelum pangkat dan martabatnya sebagai raja dilaksanakan dengan sepenuh-penuhnya.
Demikian juga manusia. Sekalipun manusia itu masih bayi, ia toh sudah merupakan persona. Semenjak adanya di dunia ini ia sudah persona. Tetapi martabat sebagai persona masih harus diperkembangkan hingga menjadi kenyataan yang sepenuh-penuhnya.

Mengungkap persona membutuhkan kedewasaan manusia untuk mampu memilih untuk pikiran dan perbuatannya. Ketika manusia masih bayi, manusia belum dapat menjalankan diri sebagai persona; kepribadiannya masih terpendam. Ia sudah bersifat persona, akan tetapi kepersonaannya belum dapat teraktualisasi. Inilah yang khas dari manusia di mana manusia harus selalu mengungkap dirinya. Buat hewan segalanya sudah tertulis, semua sudah dipastikan oleh dan dalam alam. Sedangkan, manusia harus kreatif mengungkap dirinya. Ketetapan diri manusia itu menjadi ada karena ada kesadaran kebebasan untuk menentukan diri. Manusia menjadi ada karena ia dapat menentukan dirinya sendiri. Ketika ia semakin mengungkapkan diri dan menemukan dirinya, ia menjadi persona.

Namun, manusia juga bisa hanyut pada dirinya dengan menuruti kecenderungan-kecenderungan yang rendah. Jika demikian, manusia menyerahkan kedaulatannya, menghianati tahtanya, dan memperbudak dirinya. Manusia menggunakan kebebasan untuk mengkikat diri atau menggunakan kebebasan untuk kepuasan dirinya semata. Jika manusia menjalankan hidupnya menurut dorongan-dorongan yang luhur sambil mengalahkan dorongan-dorongan yang rendah (ada pengendalian diri), manusia menjadi berdaulat dan berarti tidak dibelenggu oleh faktor-faktor jasmani yang buta.

Proses menuju persona tidak ada habis-habisnya, walaupun akan berakhir. Manusia tiap-tiap detik bebas dan tiap-tiap detik pula ia dapat menginjak-injak kodrat dirinya. Perjuangan menuju persona tidak pernah berakhir, namun dapat sampai ke posisi stabil hingga pendirian tak akan mudah digoyahkan. Pengetahuan dan pengalaman sangat dibutuhkan dalam hal ini. Seorang yang tua bisa saja belum memiliki kestabilan persona dan bisa juga seorang yang muda yang pengalaman hidupnya masih segelintir telah mendapatkan kestabilan dan akan mampu menuju kesempurnaan pribadi.

MANUSIA DAN SESAMA
Setelah memahami bagaimana persona diri manusia, ada baiknya juga memahami bagaimana persona diri dikaitkan dengan sesama (kodrat manusia sebagai mahluk sosial).

Kali ini akan diberitakan tiga model hubungan diri dengan sesama.

1. Ada pendapat J.J. Rousseau yang mengatakan bahwa “manusia dilahirkan merdeka, tetapi dimana-mana ia terbelenggu”. Di bawah pandangan ini paham liberalisme dan individualisme berkembang. Pandangan ini ingin mengatakan bahwa manusia merupakan suatu lingkaran tertutup yang tidak ada hubungannnya dengan alam sekitar dan sesamanya. Dalam lingkaran itu manusia atau kelompok merasa bahagia, karena jauh dari singgungan orang lain. Masyarakat itu hanya suatu kumpulan yang secara kebetulan saja berkumpul pada suatu tempat. Manusia yang satu dengan yang lain sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak terhubung. Manusia sama sekali bebas. Hubungan sosial menjadi formalitas belaka atau secara ekstern saja karena manusia begitu saja dimasukan dalam suatu lingkungan, tanpa ada pilihan terlebih dahulu. Juga, masyarakat menjadi terbina karena satu dengan yang lain berkontak karena kebutuhan atau keadaan mengharuskan mereka bertemu dengan yang lain, cth mencari nafkah, membeli makanan, dll. Jika kebutuhan-kebutuhan manusia sudah terpenuhi maka bisa saja tidak ada kontak lagi dengan sesama. Manusia bebas melakukan hal ini. Makin kurang pertalian dengan sesama, makin baik dan makin bahagia diriku.
2. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang menonjolkan masyarakat, hingga kepentingan manusia hilang lenyap. Manusia sebagai persona menjadi hilang, yang ada adalah kepentingan bersama atau masyarakat. Setiap manusia dijadikan sama. Persoalan muncul: dimanakah kebebasan manusia? Siapakah yang menentukan samanya aktivitas manusia?
3. Pandangan yang ketika adalah masyarakat persona. Dalam masyarakat persona, komunikasi sangat diperjuangkan. Tanpa komunikasi, pengetahuan dan pengalaman tidak akan bisa tersampaikan. Manusia yang persona adalah manusia yang terbuka yang mampu berdialog dengan baik. Dengan demikian masyarakat terbina dan komunikasi tidak lagi menjadi keterpaksaan melainkan suatu kebutuhan mendasar. Manusia menyempurnakan diri sebagai persona dengan membuka diri bagi orang lain dalam cinta dan kasih, bukan karena ada kepentingan pribadi dibaliknya. Jadi, persona adalah dasar dan jiwa masyarakat. Struktur dan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia tidak boleh memperkosa persona.




windar, sj
Dari berbagai sumber.

Sunday, April 22, 2007

Anak itu


Oleh Zaini"zai"Ahmad


“Jangan! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan uang ini. Jangan ambil uangku,” suara itu masih terngiang di telinga Parto. Sudah empat tahun berlalu tapi dia tak bisa menghilangkan bayangan suara anak itu, seolah-olah anak itu selalu mengikutinya. entah rasa bersalah atau apa yang pasti sejak kejadian itu hidupnya tidak tenang. Dan ia akan tertawa terbahak bahak, anak itu menangis tersedu, dan ia akan terus menunggu anak itu.

***

“Abang ini bagaimana, becus nggak sih cari uang. Anakmu sudah dua hari hanya makan nasi sama garam, belum lagi biaya sekolah nunggak tiga bulan. Bukankah kamu tak ingin anak-anak kita bernasib sama dengan kita,” seperti pagi-pagi sebelumnya istri Parto mulai uring-uringan, hari masih pagi, Parto baru saja terjaga dari tidurnya, sudah disapa oleh uringan istrinya.
“Diam!” bentaknya. “Aku juga sudah tahu, bukannya aku tak peduli, tapi bagai mana lagi, kamu juga tahu aku baru saja di PHK, bukankah uang pesangon masih ada, beri aku waktu untuk cari kerjaan baru,” Parto sudah tidak bisa menahan emosinya, ia sudah bosan dengan omongan istrinya.

“Hah uang pesangon katamu? Uangmu sudah habis sebulan lalu. dan kamu, apa usahamu semenjak di PHK kau hanya tidur, minum, berjudi. Suami macam apa kamu ini. Kalau saja aku tak kerja keras cari kerjaan serabutan kesana-kemari, mungkin kamu sudah jadi bangkai sejak kemarin dulu. Apakah kamu tidak tahu kalau selama ini kamu makan dari hasil cucuran keringatku?” istrinya tak mau kalah.

Sebenarnya kala itu Parto sangat merasa bersalah, namun bagai manapun juga sebagai seorang lelaki ia tak mau harga dirinya direndahkan seperti itu. “Hah, baru segitu saja kau sudah bangga, sudah berani merendahkan aku, sudah mersa berjasa ya? Apakah kau tidak tahu, aku bekerja untuk makan kau dan anakmu sudah hampir sepuluh tahun, aku tak pernah membanggakan diri,” Parto mulai naik pitam.

“Tapi, Bang, bukan itu maksudku, aku hanya…” “Diam kau, aku muak mendengar ocehanmu,” ia meraih kendi air di sebelah tempat tidurnya, dengan emosi ia lemparkan ke arah istrinya. Brakk! Pecahan kendi berserakan kemana-mana. Untung saja istri Parto masih sempat mengelak. Ia berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam. “Hai keluar kau! Dasar istri kurang ajar, beraninya kau menghinaku,” Parto mulai kehilangan kendali.

***

Dua hari ini Parto malas balik ke rumahnya. Ia sudah bosan dengan ocehan istrinya, ia sudah muak direndahkan. Ia menghabiskan waktunya dengan berjudi dan minum-minum. Tapi ia perlu uang juga, lama-lama uangnya menipis, sedangkan ia terlalu gengsi untuk minta ke istrinya. Akhirnya Parto pulang juga walau bagaimana pun istrinya pasti akan memberinya uang, begitu pikirnya, bukankah ia bisa mengancamnya. Dengan sempoyongan ia balik ke rumahnya, ia mabuk berat, rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari warung darjo tempat ia mabuk-mabuk dan main judi terasa jauh sekali.

***

Malam itu sangat sepi, tampak seorang bocah penyemir sepatu menghitung uangnya hasil upah kerjanya seharian, rupanya penghasilannya saat ini cukup besar. Dengan hati riang dia timang timang uang itu, dia tak mengira kalau dia terancam bahaya, dan mungkin uangnya akan segera berpindah tangan.

Parto memperhatikan dengan jelas apa yang dilakukan anak itu. Terbersit dipikirannya untuk memiliki uang itu. Tentu saja di saat ini ia sangat membutuhkan uang. Mungkin istrinya tak akan ngomel terus bila ia memberi uang, dan ia akan menikmati kembali tubuh istrinya yang sudah dua bulan ia tak menikmatinya.

***

“Rokayah, buka pintu! Aku bawa uang sekarang, kau tak perlu mengomeliku hari ini, dan tentu saja kau mau melayaniku malam ini, bukan?” Parto memanggil istrinya.
“Sebentar, Bang!” jawab istrinya. Pintu pun terbuka, Parto masuk dan langsung merebahkan diri di sofa yang bolong-bolong di sana-sini. “Hai, Bang, dapat uang dari mana kamu?” tanya istrinya. “Aah, kau tak perlu tahu dari mana uang ini. Yang penting uang ini cukup untuk kau dan anakmu makan seminggu, setelah itu aku akan cari lagi,” sergah Parto mulai naik pitam.
“Bukan begitu, Bang, aku takut kamu berbuat yang tidak-tidak,” jawab istrinya. “Rupanya kau tidak percaya kepadaku?” tanya Parto. “Tidak, Bang, aku percaya sama kamu,” istrinya tak mau terus berdebat. “O, aku lupa ada berita baik untukmu, perusahaan tempat kerjamu dulu memangilmu untuk bekerja kembali, ini surat pemanggilannya,” kata istri Parto sambil menyerahkan surat itu. Parto tercengang, rupanya ia sedikit menyesal, kalau tahu begini ia mungkin tak perlu merampok anak itu.

***

Satu tahun berlalu, kini Parto dan keluarganya sudah hidup mapan, tapi ada satu yang masih menjadi beban pikirannya, ia ingin mengembalikan uang yang dulu ia rampok, setiap malam setelah dia pulang kerja ia akan menunggu anak itu jembatan tempat dulu ia merampok anak itu. Namun anak itu bagai menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah muncul lagi. “Bagaimana nasib anak itu, apakah ibunya sembuh atau mati, ataukah anak itu mati kelaparan setelah ditinggal ibunya,” mungkin itu yang dipikirkan Parto selama ini.

***

Seperti biasa malam itu Parto masih menunggu kedatangan anak itu, ia berharap suatu saat rasa berdosanya akan dapat hilang, dua jam ia menunggu, anak itu tak muncul juga, uang itu masih digenggamnya. Sekonyong-konyong seseorang merebut uang itu dan berlari, Parto kaget.
“Jambret, maliiiiing,” teriaknya. Tapi kala itu jalan sangat sepi, tak ada yang mendengar teriakannya. Bergegas ia mengejar anak itu. Ia raih batu besar di pinggir jalan, ia lemparkan ke arah anak itu, dan bruk! anak itu tersungkur ke jalan aspal. Lemparan Parto tepat mengenai kepala anak itu.

Malang nasib anak itu. Sebelum Parto menghampirinya, sebuah sedan melaju dengan kencang. Dan brak! Anak itu tergilas. Tiba-tiba semua hening. Parto menghampiri anak itu, dan menatap wajahnya, Parto tercengang, rupanya anak itu, ya, itu adalah anak yang dia rampok dulu.
“Tidak, jangan, jangan mati, aku belum mengembalikan uangmu, tidaaak!” teriaknya. “Aku membunuhnya… Aku membunuhnya, tidaaak!!!”

***

diambil dari www.cybersastra.net


Pertanyaan:
  1. Temukan satu tokoh saja dan deskripsikan data-datanya (dari aspek sosial, budaya, ekonomi, agama, dll) ? Apa yang menarik dari tokoh anda tersebut?
  2. Bagaimana dengan persona tokoh anda? Ia masuk dalam model manusia yang bagaimana? Jelaskan?
  3. Temukan pengalaman masa lalu apa saja yang membuatnya menjadi seperti dalam teks (kaitkan kesejarahan ini dengan aspek sosial dan budaya)? Jelaskan?
  4. Tanggapi kata “mabuk” dan “menyemir” dengan “anak itu” dan “parto”? Apa permasalahan utama empat kata tersebut? Adakah kekhasan manusia di balik empat kata tersebut? Jelaskan?
  5. Lewat teks tersebut, definisikan kembali apa itu persona dengan kata-kata anda sendiri? Mengapa manusia harus “mengungkap persona”?
  6. Lewat pemahaman anda akan persona, hubungan dengan sesama, kesejarahan, ciri khas manusia: Refleksikanlah tokoh anda? Apa yang dapat anda petik? Bagaimana religiusitas tokoh anda tersebut?

* SELAMAT MENGERJAKAN *



Open yourself to the self,
then trust your natural responses;
and everything will fall into place.
(Lao Tzu)

Pendidikan

Bacalah tulisan mengenai “Membangun Pendidikan, Mengatasi Kemiskinan” dan jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

  • Sebutkan data-data apa saja yang dikemukakan dalam tulisan di bawah ini?
  • Apa tujuan dan sarana dari dunia pendidikan seperti yang tertera pada teks? Jelaskan?
  • Mengapa tujuan dunia pendidikan tidak mampu mengatasi kemiskinan? Apakah ada yang salah dengan tujuan pendidikan?
  • Berikan tanggapan kelompok mengenai tujuan dan sarana pendidikan yang paling baik untuk anak Indonesia zaman sekarang? Dan dalam pelaksanaan tujuan anda tersebut apakah harus bersikap lepas bebas atau memaksa?
  • Setujukah anda dengan pernyataan “kualitas SDM memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan” (par 8)? Mengapa? Refleksikanlah secara perkelompok mengenai kualitas belajar para siswa di de britto ini?

Membangun Pendidikan, Mengatasi Kemiskinan

Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, setiap bangsa yang ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas utama.

Kisah Jepang, ketika luluh lantak akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima adalah contoh nyatanya. Ketika itu, Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak berselang beberapa waktu setelah itu, Jepang bangkit dan kini telah berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.

Bagaimana dengan Indonesia? Hampir tak ada yang membantah bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat sekarang ini belumlah terlalu bagus, alias jeblok. Bahkan, kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat menyebut kualitas pendidikan kita anjlok, rendah dan memprihatinkan. Keberadaan atau posisi kita jauh di bawah negara-negara lain. Hal itu terlihat dari angka Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional, yang menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia sangatlah rendah.
Kemudian, pada saat yang sama tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis. Sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita semua paham bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98).

Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Banyak pihak terkejut dengan pernyataan ini. Tak dapat kita bayangkan, sesuai data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Suatu jumlah yang amat fantastis. Hampir separoh penduduk Indonesia. Hal ini tak pernah kita duga sebelumnya.

Dalam ukuran yang lebih mikro lagi, jumlah ketidaklulusan siswa SLTP dan SMU tahun 2006 ini, tergolong tinggi. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya nol persen. Suatu realita yang sangat memalukan. Padahal, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tidak terbilang tinggi.

Persoalannya, bagaimanakah masa depan bangsa ini? Atau bagaimana kualitas SDM kita? Harus diakui bahwa persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikan sendiri masih dipengaruhi oleh banyak hal dan sangat kompleks. Misalnya, bagaimana kualitas dan penyebaran guru, ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pendidikan, dan lain-lain. Hal ini sering kita sebut dengan istilah faktor utama.

Salah satu hal yang menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut di atas, adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah misalnya mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya.

Pembangunan pendidikan adalah modal utama dalam membangun suatu bangsa. Sebab, pendidikan terkait dengan kualitas SDM. Maka, jika bangsa ini ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan adalah syarat mutlak yang harus dilakukan. (*)



Sinar Indonesia Baru, Nov 08, 2006

Pejuang HAM

Tom Saptaatmaja


Munir pejuang HAM asal Jatim wafat Selasa 7 September 2004. Kita, khususnya warga Jatim, ikut berbelasungkawa. Munir tutup usia dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Almarhum Munir ke Belanda untuk melanjutkan studi Hukum Kemanusiaan pada Universitas Utrecht atas beasiswa ICCO, Organisasi Lintas Gereja untuk Kerja Sama Pembangunan.

Kepada seorang kerabatnya, Munir mengatakan ingin melanjutkan studi sambil istirahat. Tak dinyana, dia akhirnya istirahat untuk selamanya (Radio Nerdeland 8 September 2004).
Munir dikenal sebagai narasumber yang sangat gampang untuk dikontak. Penulis merasakan, di mana pun Munir gampang dihubungi untuk talkshow. Kalau lagi di jalan, dia akan menjawab lewat ponselnya: "Mas, sebentar ya, saya berhenti dulu."

Dia tidak pernah menolak untuk diwawancarai atau berdiskusi. Biasanya, dalam setiap diskusi, Munir juga tak sungkan-sungkan untuk mengekspresikan keyakinannya. Tak peduli hal itu akan menyinggung narasumber lain yang juga hadir di studio. Keyakinan dan komitmen Munir untuk perjuangan HAM di negeri ini memang sangat tinggi. Itu sudah dimulai ketika dia terjun langsung membela para buruh di Surabaya di akhir 1980-an dan awal 90-an. Tidak heran,
teramat banyak -terutama korban kekerasan dan pelaggaran HAM di Indonesia dan aktivis HAM- yang menyukai dan mencintai Munir.

Setiap aktivis HAM dan demokrasi di Indonesia pasti kenal nama Munir. Di mancanegara pun dia berkibar. Di forum internasional mana saja, asal saja masalah HAM Indonesia menjadi tema pembicaraan, kehadiran Munir bisa dipastikan. Tidak kebetulan bahwa dia pada 2000 dihormati oleh "The Right Livelyhood Award", dengan pemberian Roll of Honour, untuk keberanian dan dedikasinya dalam perjuangan untuk hak-hak manusia dan supremasi sipil atas militer di Indonesia.

Sebelum itu, pada 1998, Munir dihormati di Indonesia dengan pemberian Yap Thiam Hien Human Rights Award kepadanya. Munir pernah mengatakan bahwa hak-hak manusia dalam pengertian solidaritas manusia telah menciptakan suatu bahasa baru yang universal dan sama yang melintasi batas-batas ras, gender, etnis, atau religi.

Karena itu, bagi penulis, Munir merupakan perintis menuju dialog bagi semua orang. Dia pejuang HAM lintas agama, lintas kultural. Seorang pejuang HAM sejati memang tidak akan pilih-pilih dalam memperjuangkan kemanusiaan. Munir lantang mengecam pelanggaran HAM di Aceh yang mayoritas warganya muslim.

Munir juga geram melihat penyalahgunanan HAM di Timtim atau Papua yang mayoritas warganya kristen. Bagi pejuang HAM, kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada sekadar sekat-sekat yang memisahkan kemanusiaan.

Boleh jadi, karena alasaan itu, ICCO, Organisasi Lintas Gereja untuk Kerja Sama Pembangunan Belanda, mengundang Munir untuk studi hukum lebih lanjut di Negeri Kincir Angin itu. Ketika pihak organisasi ICCO dan Kerkinactie ditanya Radio Nederland, apakah perbedaan agama Munir yang muslim dan pihak ICCO tidak menjadi kendala, Feije Duim dari organisasi itu menjawab, "Oh sama sekali tidak. Dari segi agama, siapa pun yang mengejar hak, keadilan, perdamaian bisa menjadi sahabat. Saya pikir untuk Islam begitu, untuk
Kristen juga begitu.

Jadi, perjuangannya sama, jadi menganggap itu kawan seperjuangan. Sebenarnya, agama di situ berperan sebagai pendorong, tapi tidak untuk membedakan atau memisahkan satu dari yang lain."

Ketika ditanya lagi apakah bagi Munir sendiri yang muslim, itu bukan hambatan untuk bersahabat dengan sebuah organisasi lintas gereja? Feije Duim menjawab, "Ya memang, Munir muslim. Itu keyakinan kehidupannya dan itu main peran. Tetapi, untuk mencari sekutu dalam perjuangan, demi keadilan dan perdamaian, perbedaannya tidak main peran. Jadi, di dalam gerakan human rights di seluruh Indonesia, saya kira begitu. Dari segi agama, tidak ada
persoalan." (Gema Warta Radio Nederland, http://www.ranesi.nl 9/9).

Sikap Munir yang mantan aktivis HMI atau ICCO rasanya perlu digarisbawahi. Sebab, selama ini amat gampang dalam beragama kejadian apa pun di mana pun di belahan dunia ini, termasuk di Jatim, Islam-Kristen dipertentangkan. Di tengah isu terorisme, dalam konflik di Iraq, dalam kampanye pilpres di Jatim, isu-isu yang mempertentangkan Islam-Kristen ini amat gampang diembuskan.

Padahal, dalam keberpihakan pada hak asasi manusia, sebenarnya Islam-Kristen punya visi sama. Maka, mereka yang sudah mencapai level kematangan beriman dan berpikir seperti Munir bisa bekerja sama dengan siapa pun, termasuk dengan yang bukan muslim.
Penulis masih ingat ketika berdialog dengan Munir menjelang Natal 1995, menyangkut agama dan HAM, Munir melontarkan gagasan yang sangat menarik. Menurut dia, perbedaan dalam hal beragama jangan pernah menjadi kendala untuk memihak pada kemanusiaan, apalagi jika manusia-manusia lemah mengharapkan bantuan kita.

Munir menyentuh hati ketika berkata, "Kalau ada buruh yang kecelakaan di jalan atau di tempat kerja, siapa pun yang tahu harus segera menolongnya, tidak perlu melihat dulu agama buruh itu apa, tak perlu berpikir apakah tindakan menolong kita sesuai dengan ayat sekian Quran atau Injil."

Sikap Munir itu tidak bermaksud mempertentangkan tindakan membela HAM dengan membela agama. Kalau dikaji dan direfleksikan dengan jujur, tidak ada dikotomi antara tindakan membela HAM dengan membela agama. Islam, misalnya, merupakan agama rahmatan li al-'alamin (rahmat bagi alam semesta). Sementara itu, Injil yang menjadi dasar iman umat Kristen berarti pertama-tama adalah kabar baik bagi dunia ini.

Jadi, jika esensi kedua agama itu disinergikan, rasanya dunia ini akan jadi lebih baik. Bahkan, di tengah isu terorisme dan pelanggaran HAM hebat seperti akhir-akhir ini, Munir dan pejuang HAM yang beragama apa pun sudah menunjukkan teladan bahwa kita sebenarnya bisa bekerja sama.

Source: Jawa Pos, 13 September 2004

Pertanyaan:
1. Buatlah timeline sejarah hidup Munir berdasarkan teks di atas?
2. Menurut kelompok, bagaimanakah persona atau kepribadian hidup munir?
3. Terangkan perbedaan antara kebebasan eksitensial dan sosial? Apakah perjuangan sosial Munir merenggut kebebasan pribadinya?
4. Bagaimana perjuangan munir terhadap:
• Kaum Miskin
• Dialog agama
Berikan tanggapan anda terhadap dua hal tersebut?

Keadilan

“Nggak adil” kata seorang anak ketika ia mendapatkan bagian kuenya yang kecil, yang lain dari beberapa temannya, “kok aku beda dengan yang lain.” “Aku mau mendapatkan bagian yang sama dengan yang lain, mamaku tidak pernah berbuat seperti ini kepadaku” tambahnya.
Kata “nggak adil” juga bisa dikatakan dalam sebuah permainan monopoli oleh sekelompok orang jika ada seseorang atau beberapa orang curang dalam permainan atau tidak mengikuti aturan tertulis maupun yang tak tertulis.

Begitu juga kata ini akan muncul ketika sebuah lembaga LSM tengah meneliti kasus mengenai kesenjangan sosial yang begitu tinggi di kota besar dan juga lobi para pegusaha dan pejabat yang begitu dekat dengan penentu atau pengambil keputusan dalam hukum dengan tindakan korupsi atau semacamnya.

Bila mengacu pada kisah-kisah singkat di atas bisa disimpulkan bahwa yang namanya keadilan itu adalah kesamaan, kesesuaian, atau menerima common sense (atau hukum/jus) yang berlaku. Keadilan dikatakan sebagai pusat dari dua respek, yaitu respek pada legalitas di sebuah kota dan respek pada kesamaan diantara individu. Maka secara umum bisa disimpulkan bahwa yang adil itu adalah yang sesuai hukum atau yang fair, sedangkan yang tidak adil adalah yang tidak sesuai dengan hukum atau yang tidak fair .

Sudah ada dalam pemikiran sejak Aristoteles bahwa bertindak adil adalah bertindak dalam arti sesuai dengan hukum. Keadilan itu menjalankan sesuatu sesuai dengan yang ditetapkan sebagai yang adil, yaitu dalam hukum ataupun norma, yang kemudian akan ditindaklanjuti tanpa ada evaluasi dan refleksi terhadap sebuah kasus tertentu karena hanya mengikuti hukum yang ada atau menurunkan sikap yang sudah tertulis dan ditetapkan. Bila mengikuti logika ini maka hukum sebagai penentu keadilan itu legal karena selalu menarik putusan sebagai turunan atau keluasan. Ini mengartikan bahwa keadilan sebagai fakta legal lebih penting daripada keadilan yang merupakan nilai (value). Keadilan menurut paham ini absolut terejawantah dalam hukum legal.

Hobbes menyetujui hal ini. Ia menyatakan bahwa “yang membuat hukum itu adalah otoritas dan bukan kebenaran .” Maka keadilan dalam pemahaman ini akan dipertanyakan karena keadilan dalam konsep sampai sekarang ini bukanlah keadilan yang murni atau bebas nilai. Keadilan menjadi relatif karena tergantung otoritas yang membuatnya. Hukum ditetapkan lebih tergantung pada mayoritas dan kekuasaan untuk membuat mereka tetap bisa eksis, dan diragukan sebagai hukum yang berasal dari nilai, intelegensi, dan demi tujuan kemanusiaan. Maka kehidupan akan tetap berjalan jika kesamaan dan legalitas itu aneh atau ganjil, namun keadilan tidak akan berjalan jika kondisinya demikian.

Plato, lewat Politeia, menyatakan bahwa keadilan itu adalah yang menjaga setiap orang berada di wilayahnya atau posisinya masing-masing, sesuai bakat dan kodratnya, demi keharmonisan dalam keseluruhan. Keadilan adalah memberikan yang sama kepada setiap orang sesuai dengan kemampuan dirinya. Namun apakah ini akan berjalan jika kita menyadari bahwa manusia itu dilahirkan tidak sama dan memiliki kebebasan masing-masing. Rousseau menyatakan bahwa keadilan itu adalah kehendak umum . Keadilan itu tergantung dari kehendak umum dan itu berasal dari kekuatan yang umum. Keadilan itu bisa dikatakan relatif karena kehendak umum dalam suatu waktu bisa saja berubah dan kemudian penentapan hukum menjadi berubah. Namun, setiap manusia memang pada dasarnya tidak sama sehingga keadilan akan sangat beguna untuk meminimalisir setiap kehendak individu yang berbeda dan itu diwujudnyatakan secara legal dalam hukum. Maka, hukum itu tetap hukum, entah itu adil atau tidak. Namun, hukum yang adil ini tidaklah sama dengan keadilan yang memiliki nilai (equality dan equity) atau keadilan yang sebagai keutamaan.

by. windar santoso
Alam Sekitar Kita

Relasi satu dengan yang lain merupakan relasi yang saling mengungkap persona. Artinya satu sama lain saling memberikan diri dan menerima diri. Ini adalah unsur terpenting dalam hal relasi bagi manusia. Jika relasi manusia tidak demikian, maka manusia menjadi mahluk yang sendirian atau individualistik karena manusia hanya menerima berbagai masukan dari dalam dirinya saja. Manusia sejak dilahirkan merupakan manusia yang tergantung, maka manusia membutuhkan yang lain untuk tetap bisa hidup di dunia ini.

Maka, manusia mengetahui berbagai pandangan di dunia ini karena manusia mendapatkan masukan dari orang-orang yang sudah mendahuluinya atau orang-orang yang lebih senior daripadanya. Selain pengetahuan, manusia juga membutuhkan pengalaman agar segala yang diketahuinya tersebut dapat menyatu ke dalam dirinya dengan baik. Dari pengalaman dan pengetahuan ini, akhirnya manusia mengerti bahwa dirinya dengan yang lain adalah berbeda. Manusia semakin mengerti akan adanya keberagaman atau pluralitas atau perbedaan dengan tambahnya pengetahuan dan pengalaman tersebut. Keberagaman yang ada di dunia ini harus diwujudkan sebagai bagian yang alami dari dunia ini. Namun juga, keberagaman dapat kita ketahui dan mengerti karena manusia memahami inti permasalahan atau persoalan yang ada. Jika manusia tidak sampai pada inti relasi, tidak akan ada keseimbangan dan pemahaman yang lebih mendalam dari diri manusia.

Dalam bagian ini, kita akan memahami lebih dalam lagi mengenai alam sekitar kita. Mengapa kita harus seperti ini dan bertindak demikian. Keberagaman harus kita terima dan mengerti begitu saja sebagai kenyataan yang ada. Kita akan memahami kesejarahan untuk melihat bahwa sebagai manusia yang berproses, manusia berjalan karena ada masa lalu. Keberagaman yang ada sejak dahulu harus mampu kita pahami dengan lapang dada, dan bukan dengan penolakan. Selain itu, kita akan memahami ciri khas kita sebagai manusia sehingga kita akan menjadi lebih mengerti mengapa kita harus bersikap dan bertindak demikian dan tidak dapat menolak. Lewat pengetahuan ini, manusia akan mampu mengungkap personanya.

Kesejarahan atau historisitas

Di antara segala yang ada di atas bumi ini hanyalah manusia yang merupakan mahluk bersejarah sebab dialah satu satunya mahluk yang menjadi pokok penulisan sejarah, satu-satunya yang membuat sejarah. Bila kita mengatakan bahwa suatu masa tertentu menandakan titik yang menentukan dalam sejarah, kita semua mengetahui bahwa hal itu berkenaan dengan manusia dan bukan dengan atom atau elektron, atau lebah, atau burung layang-layang. Sebab, tak satu mahluk itu yang mampu menerima dengan bebas masa lampaunya ataupun menciptakan masa depan baru. Historisitas adalah kekhasan yang menjadikan manusia pembuat dan pelaku sejarah, bukanlah sebuah fakta kebetulan dan sampingan, melainkan yang mendasar. Historisitas menegaskan cara manusia berada.

Sebagai misal, bagi orang Yunani rasa kesejarahan dikalahkan oleh gagasan nasib yang memahami perjalanan sejarah sebagai sesuatu yang terjadi menurut suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan dan seolah-olah telah ditentukan sebelumnya oleh suatu kuasa yang misterius dan buta.

Sebenarnya gagasan nasib yang tidak terhindarkan itu merupakan suatu gagasan semu atau ilusi di masa lampau. Dengan demikian ada kecenderungan untuk menerangkan sejarah sesudah terjadinya suatu peristiwa, atau sesudah suatu peristiwa menjadi bagian masa lampau dan bukan menerangkan jalannya sejarah itu dengan berpangkal pada sejarah yang sedang berjalan atau sejarah yang sedang berlangsung. Dengan pandangan sejarah seperti ini sejarah dipandang sebagai nasib dan kelanjutan sejarah dipandang sebagai hal yang niscaya terjadi. Seorang siswa yang gagal dalam ujian selalu tergoda untuk berdalih. Aku masih dapat berbuat apa? Memang sudah nasibku akan gagal? Dengan demikian kita melihat bahwa gagasan nasib sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan merupakan gagasan yang bukan saja tidak konsisten tetapi juga berbahaya, sebab merupakan suatu cara yang mudah untuk mengingkari tanggung jawab pribadi dalam hidup ini.

Maka, historisitas tidak boleh dicampuradukan dengan perasaan tidak mampu atau tidak mantap. Perasaan tidak mampu atau mengatakan segalanya berlalu lebih merupakan kesadaran manusia yang menengok kepada kekosongan masa lampau. Jadi historisitas dapat dikatakan sebagai sifat khas sebuah kesadaran yang tahu akan tanggung jawab terhadap masa depan. Historisitas adalah konsep masa lalu yang terintegrasi atau menyatu dengan diri manusia. Masa lampau dipandang sebagai yang pernah hadir pada suatu ketika daripada sebagai sesuatu yang tiada lagi.


Ciri khas mahluk hidup

Manusia adalah mahluk hidup dan itu masuk dalam kelompok tinggi di antara mahluk lainnya, dimana tumbuh-tumbuhan dan binatang masuk di dalamnya. Bagaimana dengan mesin? Mesin dewasa ini sangat berkembang dan beberapa mesin juga memiliki aktivitas dan hasil yang juga sama dengan mahluk hidup. Maka dari itu, dalam bagian ini kita akan masuk lebih dalam ke diri manusia untuk membedakannya dengan yang lain. Kita akan membicarakan ciri khas manusia.

Kegiatan pertama yang dapat disebut sebagai ciri khas manusia adalah asimilasi. Ciri asimilasi akan lebih kentara ketika berhadapan dengan budaya dan peradaban. Manusia memiliki peradaban sebagai hasil berasimilasi dengan alam sekitarnya, mahluk hidup lain dan sesamanya. Dengan asimilasi, manusia mengolah apa yang ada di alam ini menjadi bagian dalam dirinya. Manusia bersatu dengan alam atau suku lain sehingga dapat menciptakan tradisi atau budaya. Manusia dapat mengolah sesuatu yang berbeda dengan dirinya dengan sikap terbuka dan mau berasimilasi sehingga terbentuklah suatu kesatuan yang bermakna. Mesin, pada saat tertentu konstruksinya juga dapat melengkapi dirinya, namun hal itu tidak dilakukan dengan proses asimilasi. Bagian-bagian dari mesin masih berdiri sendiri dan tidak menjadi satu keutuhan. Maka, mesin bukan sesuatu yang berkembang dari dalam, tetapi sesuatu yang melengkapi dirinya dari luar; bukan suatu keseluruhan natural, melainkan suatu keseluruhan artifisial.

Manusia juga memulihkan dirinya. Manusia mampu memulihkan dirinya dari luka-luka, baik itu luka luar maupun luka batin. Luka-luka tersebut dapat disembuhkan karena ada bagian dari diri manusia yang memang mampu menyembuhkan. Sedangkan kalau mesin, jika rusak, akan diperbaiki tidak dari dalam dirinya melainkan sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Mesin tidak memiliki “bagian dalam” yang mampu menyembuhkan sendiri apa yang sudah rusak.

Manusia juga memiliki kemampuan yang luar biasa, yaitu mereproduksi dan melipatgandakan dirinya, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu mahluk hidup baru. Suatu mahluk hidup yang menjadi gambar dan rupanya serta penerus spesiesnya. Bagi manusia, reproduksi tidak berhenti pada pembuatan keturunan semata, melainkan menjadikan keturunan tersebut secitra dengan dirinya yang berharga dan bermartabat. Sebuah mesin juga dapat menyusun mesin-mesin lain menurut model yang dipergunakan untuk menyusun dirinya sendiri, tetapi mesin tidak membuat mereka dari bibitnya sendiri. Memang tidak akan dikatakan bahwa mesin-mesin baru itu merupakan keturunan dari mesin lama atau lahir dari dirinya. Mesin hanya mengumpulkan materi atau barang-barang yang ditemukan di luar dirinya untuk membuat keseluruhan artifisial.

Manusia juga beradaptasi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya. Tumbuh-tumbuhan berekasi atas cahaya, panas dan dingin, tekanan dan kelembaban. Tanaman menarik keuntungan dari tanah di mana ia berakar dan dari materi-materi yang diserapnya dari tanah itu. Binatang bersikap hati-hati pada semua yang dapat mengancamnya. Ia tahu di mana menemukan makanan. Ia dapat menghindari bahaya atau menentangnya, menyerang atau melarikan diri. Kemudian, yang khas bagi manusia adalah adaptasi yang membawa manusia terbuka pada setiap situasi. Manusia mampu mengendalikan dirinya sehingga terlepas dari konflik. Dengan terselesaikannya konflik, manusia masuk dalam kedamaian dan cinta. Mesin kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya, dan dalam beberapa hal tertentu, dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa saja yang mengganggunya, mesin akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali, seperti satelit yang juga mampu bereaksi terhadap gangguan yang mungkin terjadi. Namun, semua itu karena mekanisasi dan otomatisasi, bukan karena kesadaran. Mereka tampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun, atau berkat orang yang mengaturnya.

Manusia juga mengolah apa yang asing di dunia ini menjadi bagian dari dirinya. Manusia mengolah dedaunan, akar, batang menjadi sesuatu yang dapat di makan. Manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang ada di sekitarnya menjadi sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidupnya. Mesin adalah hasil olahan manusia. Dengan ide dan penemuan atas benda-benda, manusia mengolah barang-barang biasa yang kemudian menjadi perpanjangan dirinya.

Kemudian, manusia juga merupakan mahluk yang terus berproses. Manusia memiliki kemampuan untuk selalu mempertanyakan dirinya sampai sehabis-habisnya hingga titik darah penghabisannya. Dengan demikian, manusia mengungkap dirinya dan menemukan kesadaran. Dengan akal budi dan perasaan, manusia dapat menemukan dirinya sebagai subjek yang terus berkembang.

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa ciri khas manusia adalah berasimilasi, memulihkan diri, reproduksi, adaptasi, mengendalikan diri, mengolah, dan berproses. Pertanyaan kemudian, apakah semua ciri khas ini semakin membatasi keterbatasan manusia. Memang manusia terbatas dan kadang binatang atau tumbuhan dapat lebih hebat. Adanya pandangan keterbatasan berarti manusia menyadari akan dirinya yang terdiri dari badan dan jiwa. Ini adalah kodrat manusia, berarti ingin menyatakan keseluruhan realitas manusia yang terstruktur, yang memiliki jiwa dan juga badan. Jiwa dan badan solider satu sama lain dan bersama-sama merupakan satu mahluk hidup yang sama. Namun, badan dan jiwa merupakan suatu relaitas yang berbeda, walaupun keduanya merupakan satu “ada” yang sama. Jadi, manusia tidak bisa menghindar. Namun, dengan ciri-ciri khas tersebut ternyata manusia dapat mengatasi keterbatasannya. Manusia menemukan berbagai alat yang kemudian menjadi perpanjangan dirinya yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Manusia juga menemukan ilmu yang kemudian dapat mengembangkan daya-daya rasio dirinya. Jadi, manusia memang terbatas, namun ia tidak terbatas.

windar, sj
dari berbagai sumber, terutama dari Leahy, Louis, Siapakah manusia?, Jogja: Kanisius, 2001.

Saturday, April 21, 2007

" Cat "

The fat cat on the mat
May seem to dream
Of nice mice that suffice
For him, or cream
But he free, maybe,
Walks in thought
Unbowed, proud, where loud
Roared and fought
His kin, lean, and slim
Or deep in den
In the East feasted on beasts
And tender men.
The giant lion with iron
Claw in paw
And huge ruthless tooth
In glory jaw
But fat cat on the mat
Kept as a pet
He does not forget

Kebebasan

. Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial

Kebebasan eksistensial pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif. Arti ini tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Maksudnya adalah kita sanggup untuk menentukan tindakan kita sendiri. Kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan kita yang disengaja. Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan. Dentuman jantung dan pernafasan bukanlah tindakan karena berjalan tanpa disengaja. Tindakan adalah kegiatan yang disengaja. Tindakan dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak.
Sedangkan kebebasan sosial adalah kebebasan yang dihayati dalam hubungan dengan orang lain. Yang menjadi fokus ini adalah kita membela kebebasan terhadap usaha orang lain untuk menggerogotinya. Kebebasan sosial itu seputar kemampuan kita mengolah ruang gerak yang yang ada dalam masyarakat.
Maka apabila kita bicara tentang kebebasan, kita selalu mesti jelas dalam kepala kita mana yang kita bicarakan: yang eksistensial atau yang sosial? Kita harus bisa membedakan apakah kita bicara tentang kemampuan manusia untuk mengambil sikap sendiri (kebebasan eksistensial) atau tentang ruang gerak yang diberikan masyarakat kepada kita (Kebebasan sosial). Akan tetapi di lain pihak membedakan tidak berarti memisahkan. Kedua kebebasan itu hanyalah dua sudut dari satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia. Tetapi bagaimana bubungan antara dua kebebasan kita ini? Dapat dikatakan bahwa kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, Secara sederhana: kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita, sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita. Misalnya, kalau kita terkena tahanan rumah, maka kita tidak dapat menentukan diri untuk pulang ke kampung pada hari raya Lebaran. Kita hanya "bebas" untuk bergerak dalam batas-batas rumah kita dan pekarangannya. Kebebasan yang diberikan kepada kita oleh lingkungan sosial merupakan batas kemungkinan untuk menentukan diri kita sendiri.

2. Pembatasan kebebasan

Apakah kebebasan sosial manusia boleh dibatasi? Apakah masyarakat, misalkan orang tua, guru, masyarakat, negara dan banyak pihak lain yang biasanya menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita lakukan, berhak untuk membatasi kebebasan kita?
Bahwa kebebasan sosial kita terbatas, merupakan suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Di mana pun kita tak pernah akan diizinkan dan dibiarkan melakukan apa saja yang barangkali kita inginkan. Tetapi, dapatkah permbatasan kebebasan kita oleh masyarakat dibenarkan? Dan kalau dapat dibenarkan, maka sejauh mana?

a. Keterbatasan hakiki kebebasan sosial

Bahwa kebebasan sosial itu secara hakiki terbatas sifatnya, sebenarnya jelas dengan sendirinya. Manusia itu makhluk sosial, itu berarti bahwa manusia harus hidup bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, dan dengan mempergunakan alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa kita di satu pihak saling membutuhkan dan di lain pihak bersaing satu sama lain. Dan oleh karena itu kelakuan kita sesuaikan dengan adanya orang lain. Bagaimanapun juga, kepentingan semua orang lain yang hidup dalam jangkauan tindakan kita perlu kita perhatikan. Kalaupun kita tidak mau menghiraukan mereka, kita terpaksa akan melakukannya kalau tidak mau terus menerus bertabrakan.
Jadi pertanyaannya bukan apakah kebebasan sosial kita memang boleh dibatasi atau tidak. Sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam dunia yang terbatas, sudah jelas manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi kesewenangannya. Pertanyaan yang sebenarnya berbunyi: sejauh mana, dan dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Jadi bahwa kebebasan sosial kita terbatas, sudah jelas dengan sendirinya. Yang perlu ialah agar pembatasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Karena, kalaupun kebebasan kita harus dibatasi, hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat dibenarkan.

b. Legitimasi pembatasan kebebasan sosial
Alasan apa yang dapat membenarkan pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat? Kiranya jelas bahwa tidak mungkin di disebut segala alasan yang menuntut pembatasan kebebasan kita. Cukuplah kalau kita memahami alasan dasariah pembatasan itu. Pada hakikatnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia. Yang pertama ialah hak setiap manusia atas kebebasan yang sama. Keadilan menuntut agar apa yang kita tuntut bagi kita serdiri, pada prinsipnya juga kita akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu hak saya atas kebebasan saya menemukan batasnya pada hak sesama saya yang sama luasnya. Tidak masuk akal kalau di ruang kuliah saya man menggunakan dua kursi, selama masih ada siswa yang belum dapat duduk. Jadi kebebasan saya untuk, misalnya, meletakkan tas saya di mana saja, misalnya di kursi di samping saya duduk, mendapat batasan pada hak siswa lain untuk duduk di atas sebuah kursi. Atau dengan kata lain, kebebasan saya tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain.
Alasan kedua bagi permbatasan kebebasan saya ialah bahwa saya bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat. Saya mempunyai eksistensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan bantuan banyak orang lain, jadi berkat dukungan masyarakat, sebagaimana saya hidup berkat masyarakat begitu pula masyarakat memerlukan sumbangan saya. Maka masyarakat berhak untuk membatasi kesewenangan saya demi kepentingan bersama, baik dengan melarang kita mengambil tindakan-tindakan yang dinilai merugikan masyarakat, maupun dengan meletakkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus kita penuhi.
Siapa itu "masyarakat"? Itu tidak perlu kita bahas secara terperinci. Di sini masyarakat adalah segenap orang lain sejauh mempunyai fungsi khas dalam kehidupan bersama. Jadi orang tua, guru, atasan, pendeta, pemerintah, tetapi juga setiap sesama. Semua mempunyai wewenang tertentu (yang juga terbatas). Dalam rangka wewenang dan demi tujuan-tujuan khas masing-masing berhak untuk membatasi kebebasan kita seperlunya. Artinya sejauh perlu untuk mencapai tujuan tujuan yang wajar itu.
Maka kita dapat merangkum: Masyarakat berhak untuk membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai masyarakat dan demi kepentingan dan
kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-masing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang perlu untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Maka lembaga-lembaga masyarakat itu harus mempertanggungjawabkan pembatasan kebebasan anggota masyarakat. Masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenangwenang. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibenarkan.

c. Pertanggungiawaban terbuka
Justru agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut, pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara terbuka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Masyarakat dan pelbagai lembaga di dalamnya, dalam batas wewenang masing-masing, memang berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan oleh karena itu tidak perlu malu-malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan terbuka mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang mereka anggap perlu. Dengan demikian masyarakat yang bersangkutan seperlunya dapat menuntut pertanggungjawaban. Kalau aturan-aturan dan larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperlihatkan. Kalau perlunya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut.
Dalam hubungan ini saya mau menyinggung dua cara berbicara yang kadang-kadang dipergunakan untuk membatasi kebebasan seseorang atau seluruh masyarakat. Dikatakan bahwa kita tetap bebas, tetapi "demi kebebasan yang sebenarnya" kita hendaknya jangan melakukan apa yang tidak dikehendaki. Jadi kebebasan dibatasi atas nama "kebebasan yang sebenarnya". Cara omong ini licik karena dipakai untuk mengurangi kebebasan tanpa diakui dengan terus terang. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa tidak dipertanggungjawabkan. Dengan argumen bahwa kebebasan yang sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari pertanggungjawaban. Jadi hendaknya dia memilih: membiarkan bebas atau tidak. Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan berikan pertanggungjawaban. Kalau pertanggungjawaban itu masuk akal, pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan. Artinya kita bebas sekehendak kita, bahwa kita harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita secara moral terhadap kita sendiri, adalah lain masalah. Tetapi dari pihak masyarakat kebebasan (sosial) kita berarti: kita boleh menentukan sendiri, apa yang kita kehendaki.
Hal yang sama berlaku bagi istilah "kebebasan yang bertanggung jawab". Kebebasan eksistensial memang perlu dipergunakan secara bertanggiang jawab. Tetapi kalau istilah itu dipakai untuk mencegah kita dari memutuskan sendiri, apa yang mau kita lakukan, kita justru tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan apakah kita dapat bertanggung jawab atau tidak.
Sebagai contoh dapat diambil orang tua yang memberikan kebebasan bergaul dengan semua teman kelas kepada anaknya pada hari ulang tahun ke17; tetapi waktu mereka mendengar bahwa anaknya mau jalan-jalan dengan seseorang teman yang tidak dikehendaki, ia tidak diizinkan dengan alasan bahwa pergaulan itu tidak bertanggung jawab dan kebebasannya selalu harus yang bertanggung jawab. Atau, misalnya, pers sering dikatakan bebas melaporkan apa yang terjadi. Tetapi sesudah pers memberitakan sesuatu yang tidak berkenan, ia ditindak dengan argumen bahwa kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Omongan ini merupakan penyalahgunaan istilah tanggungjawab. Kalau suatu perbuatan memang tidak mau diizinkan, hendaknya dilarang dan larangannya dipertanggungjawabkan. Kalau tidak dilarang, pers dan anak yang ulang tahun tersebut berhak untuk memberitakannya. Kebebasan justru berarti bahwa keputusan apakah sesuatu sebaiknya diberitakan atau tidak menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Jadi yang menentukan adalah pers dan anak yang ulang tahun. Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan "kebebasan bertanggung jawab" sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa-rupanya tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan umum. Jadi yang tidak bertanggung jawab adalah pihak yang mau membatasi kebebasan atas nama kebebasan yang bertanggung jawab itu.
Jadi kebebasan sosial manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi, tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

d. Pembatasan Kebebasan

Ada pertanyaan: Bagaimana kita dapat mencegah sesorang masuk ke dalam kamar pribadi kita?
Cara pertama adalah dengan mengunci kamar tersebut. Cara itu aman. Siapapun tidak dapat masuk. Tidak perlu kita bedakan antara orang yang bertanggung jawab dan yang tidak. Anjing pun tidak akan bisa masuk.
Cara kedua ialah: kita dapat mengkondisikan seseorang sedemikian rupa, hingga begitu ia melihat pintu kamar kita, ia mulai bergetar ketakutan dan tidak sanggup untuk memegang pegangan pintu meskipun pintu sebenarnya tidak apa-apa dan tidak terkunci. Cara itu juga dapat dipakai untuk anjing atau sapi; sapi misalnya mudah belajar merasa takut terhadap kawat sederhana yang bertegangan listrik rendah; kalau kemudian listrik dimatikan, sapi untuk waktu cukup lama tidak berani menyentuh kawat yang membatasi perumputannya itu.Yang menarik ialah bahwa pembatasan fisik dan psikis tidak hanya berlaku bagi manusia melainkan juga bagi binatang. Inti cara itu ialah bahwa sikap pihak yang mau dirintangi agar jangan masuk tak pernah diperhitungkan. Pokoknya dia tidak sanggup masuk, entah karena secara fisik tidak dapat, entah karena ada hambatan psikis yang kuat.
Cara ketiga yaitu kita memasang tulisan pada pintu kamar: "dilarang masuk". Pembatasan kebebasan ini tidak lagi efektif terhadap anjing dan sapi, melainkan hanya terhadap manusia. Dan bukan terhadap sembarang orang, melainkan hanya terhadap orang yang mengerti bahasa Indonesia. Orang asing barangkali mengira itu nama penghuni dan justru masuk menanyakan seswuatu pada kita. Jadi cara ketiga ini mengandaikan pengertian. Hanya makhluk yang mempunyai pengertian memahaminya, Cara pembatasan ini disebut normatif. Artinya, kita diberi tahu tentang sebuah norma atau aturan kelakuan. Cara ini menghormati kekhasan manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Pembatasan fisik dan psikis meniadakan kebebasan eksistensial. Orang tidak dapat masuk. Jadi kemauannya, rasa tanggung jawabnya, tidak memainkan peranan. Tetapi pembatasan normatif tentu menghormati kebebasan eksistensial manusia. Pembatasan itu berarti bahwa ia tidak boleh masuk. Dan itu berarti bahwa ia tetap dapat saja masuk apabila ia tidak mau memperhatikan pemberitahuan itu.
Jadi pembatasan kebebasan sosial secara normatif tetap menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menemukan sendiri sikap dan tindakannya. Kebebasan eksistensial malah ditantang. Sekarang akan kelihatan apakah ia seorang yang tahu diri dan tahu bertanggung jawab atau tidak. Kalau kita hidup dalam sebuah asrama, masing-masing dalam kamarnya sendiri, dan menurut kebiasaan kamar tidak pernah dikunci, dan pada suatu hari ketahuan bahwa salah satu penghuni mengunci pintu kamarnya. Yang lain mesti merasa terhina karena penguncian itu mereka rasakan sebagai tanda bahwa mereka tidak dipercayai.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa satu-satunya cara yang wajar untuk membatasi kebebasan sosial adalah secara normatif, melalui pemberitahuan. Jadi yang harus dibatasi adalah kebebasan normatif, bukan kebebasan fisik dan rohani. Hanya dengan cara ini martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi, bebas (secara eksistensial) dan bertanggung jawab dihormati sepenuhnya. Pemaksaan selalu merendahkan manusia karena martabatnya itu dianggap sepi dan ia direndahkan pada tingkat rendah. Maka pembatasan kebebasan sosial manusia yang memang perlu harus dilakukan secara normatif, jadi dengan menetapkan peraturan, dengan cara pemberitahuan dan bukan dengan paksaan.
Akan tetapi, bagaimana kalau orang tidak mau tahu dan tidak bertanggung jawab? Jadi kalau ia tidak mau taat kepada peraturan? Kemungkinan itulah yang melahirkan paham hukum. Hukum adalah sistem peraturan kelakuan bagi masyarakat yang bersifat normatif, tetapi dengan ancaman tambahan bahwa siapa yang tidak menaatinya, akan ditindak. Tadi kita sudah melihat bahwa pembatasan kesewenangan tiap-tiap manusia demi kebebasan dan hak semua orang dan demi kepentingan bersama adalah wajar dan perlu. Olen karena itu masyarakat juga berhak untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang dianggapnya penting, bagaimanapun juga tidak dilanggar. Dan oleh karena itu masyarakat juga berhak untuk seperlunya mengambil tindakan untuk menjamin bahwa aturan-aturan itu tetap dihormati.
Tindakan macam apa yang boleh diambil? Jawabannya ialah: tindakan fisik! Jadi orang yang memang tidak mau tahu, boleh dipaksa untuk taat dan boleh seperlunya dikenai sangsi dalam bentuk hukuman. Jadi orang yang mengancam orang lain boleh ditangkap, diborgol dan dijatuhi hukuman penjara. Semua tindakan itu mengurangi kebebasan fisiknya, sama halnya dengan kerbau yang diikat di kandangnya. Bahwa tindakan fisik yang sebetulnya tidak wajar diambil, adalah kesalahannya sendiri karena ia tidak menanggapi pembatasan normatif. Yang tidak pernah dapat dibenarkan sebagai cara untuk membuat orang taat adalah manipulasi psikis. Manipulasi psikis secara moral selalu buruk dan harus dinilai jahat, karena merusak kepribadian orang dari dalam. Paksaan fisik hanya mengenai kejasmaniahan manusia. Apa yang dipikirkannya, sikap hatinya, jadi sumber daya pnentuannya sendiri tidak tersentuh. Dalam arti ini betul bahwa dalam belenggu pun orang masih dapat tetap bebas. Tindakan fisik yang perlu tidak mau memperkosa otonomi seseorang terhadap dirinya sendiri, melainkan hanya mencegah agar ia jangan merugikan orang lain. Sedangkan, manipulasi psikis merusak manusia dari dalam, Maka tekanan psikis, menakut-nakuti, penggunaan pelbagai obar bius, sugesti, penyiksaan dengan tujuan untuk memperlemah ketekadan batinnya tidak pernah dapat dibenarkan, melainkan selalu harus dikutuk kotor dan jahat.
Kebebasan sekali lagi tidak selalu mengada-adakan aturan dan tanggung jawab. Asal kita telah sadar akan kebebasan kita, maka aturan dan tanggung jawab akan menjadi bagian atau kebutuhan dalam diri kita. Jadi sebagai manusia bebas, kita harus mampu melampaui aturan dan tanggung jawab. Hidup tanpa aturan hanyalah ilusi belaka.


Bdk. Etika Dasar oleh Franz Magnis Suseno

Face Values

Perdebatan seputar cadar dan transplantasi wajah telah mengangkat isu-isu perihal bagaimana penampilan fisik kita dapat mencerminkan sifat alamiah kita. Namun, ketika tekanan diberikan kepada kita lewat kebudayaan modern untuk menyelaraskan diri, pada kesempurnaan semu yang memutarbalikan standar kecantikan, orang-orang, umumnya wanita, dikritik: dapatkah kita benar-benar menemukan kebenaran dari penampilan seseorang?

Lukisan wajah manusia pertama kali ditemukan di sebuah gua di Prancis, kira-kira pada 25.000 SM. Sejak itu kesadaran manusia tergugah sehingga memunculkan daya tarik terhadap wajah. Dengan wajah, manusia dapat memperkuat atau memantapkan rasa kediriannya sehingga dapat merasakan kedalaman kemanusiaannya. Karena dalam wajah ada kepercayaan yang kuat bahwa wajah adalah jendela jiwa dan menampakan sifat asali yang paling dalam.

Oscar Wilde dalam novelnya, The Picture of Dorian Gray, mengubah karakter Dorian tua yang kejam sesuai dengan gambarannya sehingga pengambarannya sesuai dengan karakter pribadinya yang tersembunyi, yaitu Dorian sewaktu masih muda dan kuat. Dorian mengutip Hamlet karya Shaekspere ketika ia mendeskripsikan sebuah lukisan, “lukisan kesedihan adalah wajah tanpa hati”. Ketika ia menikam sebuah image dengan pisau, pada akhirnya, perannya berubah sehingga lukisannya berubah menjadi muda dan indah kembali, dan Dorian mendeskripsikannya lewat kenakalannya yang fantastis yaitu menikam hatinya dengan sebilah pisau.

Mungkin saja, adanya keterkaitan antara karakter seseorang dengan wajah dapat membantu menjelaskan beberapa kontroversi yang terjadi belakangan ini, yaitu terhadap penggunaan jilbab para Muslimah (nigab) dan rekasi umum para dokter bedah wajah inggris yang telah diakui, pertama kali, etika transplantasi wajah. Isu-isu ini mengundang refleksi yaitu bagaimana kita menginvestasikan lebih untuk penampilan wajah kita daripada kesehatan organ-oran tubuh kita. Mungkin hal ini terjadi karena wajah kita unik dan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sosial kita sehingga penyembunyian dan penodaan wajah memengaruhi dimensi dasar kemanusiaan kita dimana hal tersebut hanya bisa kita alami dengan berelasi dengan sesama.

Ketika transplantasi jantung pertama kali dilakukan, orang-orang mengutarakan perihal yang sama untuk transplantasi wajah. Namun ketika otak kita yang bertanggung jawab untuk maslah ini, wajah idaman kita sungguh-sungguh akan bisa diwujudkan. Jendela menuju pandangan berbeda untuk melihat siapa diri kita telah terbuka. Wajah masing-masing orang diinvestasikan dengan keberadaan dirinya dan wajah orang-orang yang kita cintai (fans) menempati posisi yang unik dalam reaksi dan afeksi kita. Itulah mengapa ketika kita mendiskusikan transplantasi wajah, orang-orang akan bertanya apa rasanya jika memiliki wajah orang lain atau bagaimana orang-orang yang kita cintai merasakan wajahnya ada di tubuh orang kita. Selain itu, ketika kita berkomunikasi dengan wajah berkerudung, kita akan merasakan bahwa orang itu menolak berinteraksi, caranya dengan menyembunyikan sesuatu yang vital. Karena itu, Jack Straw mengakui kalau ia merasakan ketidaknyamanan ketika ada wanita yang berkerudung mengunjungi kantor parlemennya.

Namun interaksi akan wajah dalam kebudayaan Barat sering ditutup dengan praktek-praktek dari industri kecantikan dan media. Kita dapat secara intuitif membaca isi wajah-wajah orang-orang yang ada di sekitar kita di mana pembacaan tersebut dapat mengungkap lebih dari kata-kata yang ada. Namun kapasitas kesuka-riaan juga menjadikan kita ahli untuk memanipulasi wajah kita di depan publik, dan hal ini secara khusus benar untuk orang-orang yang ada di media atau publik figur. Senyum manis seorang bintang film dan lirikan seorang selebriti menjelaskan sedikit tentang kepribadian mereka. Hal ini akan berbeda jika mereka lepas dari kamera sehingga kita akan mampu melihat wajah yang sebenarnya dan karakter-karakter yang sangat berbeda akan terungkap.

Konteks ini juga memiliki dimensi gender, dalam sebuah masyarakat di mana gadis-gadis dan wanita muda mencari untuk meraih kesempurnaan wajah, yaitu wajah yang tidak tua. Kebudayaan kita memiliki konsep kecantikan yang dangkal sehingga hasil kerja keras menuju kesempurnaa adalah penyesuaian besar dan mahal menuju yang idealisme semu dimana hal tersebut menutup kecantikan yang sebenarnya. Dengan hal tersebut, taraf dan hidup manusia akan mudah tertutupi. Beberapa dari kita yang cukup beruntung telah menua bersama dengan pasangan kita atau bersama dengan anak-anak kita yang berkembang dari bayi hingga masa dewasa. Mereka sadar akan rahmat yang selalu memahat wajah-wajah mereka dan orang-orang yang dicintai, sehingga tua dan lemah hanyalah sisi lain dari kecantikan masa muda yang sangat menarik. Namun, dalam pencarian yang besar untuk menjadi muda dan cantik, kritik-kritik beberapa feminis memerdebatkan bahwa ada pandangan pornograpic yang memengaruhi kebudayaan modern kita, sehingga wajah-wajah wanita telah diobjekan seperti suatu komoditas di sebuah pasar modern.

Semua ini seharusnya membuat kita berhenti sejenak untuk berpikir sebelum kita menyalahkan orang-orang yang menutup diri dibalik kerudung sebagai jalan untuk berelasi dengan perdebatan bahwa wajah wanita telah mengubah konsep kefeminiman dan seksualitas. Beberapa wanita Muslim mendeskripsikan rasa kebebasan dan hormatnya dengan menjaga diri untuk tidak dilihat dalam konteks keberadaan sekual, yaitu ketika mereka harus bisa memposisikan diri dan mengalami di depan publik. Banyak dari kita akan memerdebatkan bahwa kerudung bukan suatu solusi untuk masalah ini, tetapi kita perlu mengetahui secara luas bahwa pandangan seksual laki-laki mendominasi ruang publik kita dalam gambaran dan keberadaan wanita. Komodifikasi dan eksploitasi seksualitas wanita menjadi sebuah ancaman yang besar bagi masyarakat daripada keputusan sekelompok minoritas Muslim untuk mengerudungi wajah mereka.

Kita juga perlu menilai kembali kesatuan antara penampilan fisik dan karakter moral yang melekat dalam novel wilde dan dalam persamaan kecantikan dengan kebaikan dan keburukan dalam kebejatan moral. Kekristenan memiliki hubungan yang ambigu dengan ide-ide ini, dan itu adalah penolakan orang-orang kristen dari estetika Yunani yang dipimpin oleh Nietzsche karena kecantikan bisa menjadi agama yang menghina dan merendahkan kemanusiaan. Ketika transplantasi wajah memberikan harapan kepada orang-orang yang sangat menderita dari jeleknya wajah seseorang, permintaan bertambah untuk kosmetik dan operasi wajah yang menunjukkan konsep dangkal akan kecantikan yang telah menjadi bentuk dari khayalan pribadi, seperti sebuah wajah yang atraktif dapat mengimbangi kurangnya rasa percaya diri dan penghargaan diri. Dalam pemahaman ini, wajah manusia menjadi jauh dari pemahaman akan wajah yang menjadi jendela menuju jiwa yang cantik. Itu adalah topeng yang dengan kelicikannya menunjukkan ketakutan, yaitu takut tidak memiliki sahabat. Penyanyi Michael Jackson mungkin contoh yang paling tragis yang telah keasyikan dengan penampilan luar yang menjadikan wajahnya rusak dan jelek dan itu bisa jadi merupakan jendela jiwanya.

Filsuf Yahudi, Emmanuel Levinas, memerdebatkan bahwa pengertian dasar kita akan tanggung jawab etis telah bangkit yaitu dengan sebuah wajah demi yang lain: utama dari banyak pengertian subjektifitas individu, adalah tak terkuranginya perbedaan dan kesensitifan bahwa aku memahami wajah seseorang yang menimbulkan suatu reaksi dalam diri, memperbolehkan diri menempati posisi dimana sesama membutuhkan aku. Ini adalah visi etis dengan kemampuan untuk menolong memfokuskan kembali pandangan kita dari dominasi estetika yaitu memperlihatkan dan menyenangkan kelompok industri tertentu daripada mengenali kecantikan dalam tuntutan yang biasa bahwa wajah kita dalam keinginan dan penderitaannya tergantung kita, berhadapan dengan kepercayaan dan kelemahan kita.

***

Sejak awal, kekristenan telah mengajak untuk membayangkan wajah Kristus. Orang-orang kristen rindu untuk memandang wajah Tuhan yang terinkranasi dalam diri Kristus. “Seperti orang-orang yang mencari wajahMu,” menurut liturgi semua orang kudus (liturgy of all saints). Karya seni orang-orang kristen telah mencoba untuk menampilkan sesuatu yang tidak dapat secara visual ditampilkan, yaitu kemanusiaan dan kodrat ilahi dalam diri Kristus. Kecantikan fisik dewa dewi Yunani diperlihatkan sebagai refleksi dari keilahian mereka, dan dalam kekristenan Kristus direpresentasikan sebagai pahlawan yang penuh perjuangan. Namun kekristenan juga mengakui Kristus sebagai pelayan yang menderita dimana dalam Yesaya tertulis “Ia tidak memiliki bentuk dan keagungan yang dapat kita lihat, tak ada yang lewat penampilan luar kita harus menginginkanNya” (Yes 53:2). Hal ini mengingatkan kita bahwa visi rahmat adalah yang kita lihat sebagai keindahan Tuhan dimana orang lain hanya melihat kejelekan, dan yang menaruh kasihan terhadap jiwa yang bobrok bahwa kita kadang memandang secara sekilas dibalik wajah yang menyenangkan dan estetis. Itu hanya terjadi ketika kita menentang godaan dari topeng indah bahwa kita mampu berpaling ke wajah manusia yang merupakan citra Tuhan, yang berdiri sebelum kita sebagai undangan dan tantangan untuk menuju diri sebagai manusia seutuhnya.

by. Tina Beattie