Saturday, April 21, 2007

Face Values

Perdebatan seputar cadar dan transplantasi wajah telah mengangkat isu-isu perihal bagaimana penampilan fisik kita dapat mencerminkan sifat alamiah kita. Namun, ketika tekanan diberikan kepada kita lewat kebudayaan modern untuk menyelaraskan diri, pada kesempurnaan semu yang memutarbalikan standar kecantikan, orang-orang, umumnya wanita, dikritik: dapatkah kita benar-benar menemukan kebenaran dari penampilan seseorang?

Lukisan wajah manusia pertama kali ditemukan di sebuah gua di Prancis, kira-kira pada 25.000 SM. Sejak itu kesadaran manusia tergugah sehingga memunculkan daya tarik terhadap wajah. Dengan wajah, manusia dapat memperkuat atau memantapkan rasa kediriannya sehingga dapat merasakan kedalaman kemanusiaannya. Karena dalam wajah ada kepercayaan yang kuat bahwa wajah adalah jendela jiwa dan menampakan sifat asali yang paling dalam.

Oscar Wilde dalam novelnya, The Picture of Dorian Gray, mengubah karakter Dorian tua yang kejam sesuai dengan gambarannya sehingga pengambarannya sesuai dengan karakter pribadinya yang tersembunyi, yaitu Dorian sewaktu masih muda dan kuat. Dorian mengutip Hamlet karya Shaekspere ketika ia mendeskripsikan sebuah lukisan, “lukisan kesedihan adalah wajah tanpa hati”. Ketika ia menikam sebuah image dengan pisau, pada akhirnya, perannya berubah sehingga lukisannya berubah menjadi muda dan indah kembali, dan Dorian mendeskripsikannya lewat kenakalannya yang fantastis yaitu menikam hatinya dengan sebilah pisau.

Mungkin saja, adanya keterkaitan antara karakter seseorang dengan wajah dapat membantu menjelaskan beberapa kontroversi yang terjadi belakangan ini, yaitu terhadap penggunaan jilbab para Muslimah (nigab) dan rekasi umum para dokter bedah wajah inggris yang telah diakui, pertama kali, etika transplantasi wajah. Isu-isu ini mengundang refleksi yaitu bagaimana kita menginvestasikan lebih untuk penampilan wajah kita daripada kesehatan organ-oran tubuh kita. Mungkin hal ini terjadi karena wajah kita unik dan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sosial kita sehingga penyembunyian dan penodaan wajah memengaruhi dimensi dasar kemanusiaan kita dimana hal tersebut hanya bisa kita alami dengan berelasi dengan sesama.

Ketika transplantasi jantung pertama kali dilakukan, orang-orang mengutarakan perihal yang sama untuk transplantasi wajah. Namun ketika otak kita yang bertanggung jawab untuk maslah ini, wajah idaman kita sungguh-sungguh akan bisa diwujudkan. Jendela menuju pandangan berbeda untuk melihat siapa diri kita telah terbuka. Wajah masing-masing orang diinvestasikan dengan keberadaan dirinya dan wajah orang-orang yang kita cintai (fans) menempati posisi yang unik dalam reaksi dan afeksi kita. Itulah mengapa ketika kita mendiskusikan transplantasi wajah, orang-orang akan bertanya apa rasanya jika memiliki wajah orang lain atau bagaimana orang-orang yang kita cintai merasakan wajahnya ada di tubuh orang kita. Selain itu, ketika kita berkomunikasi dengan wajah berkerudung, kita akan merasakan bahwa orang itu menolak berinteraksi, caranya dengan menyembunyikan sesuatu yang vital. Karena itu, Jack Straw mengakui kalau ia merasakan ketidaknyamanan ketika ada wanita yang berkerudung mengunjungi kantor parlemennya.

Namun interaksi akan wajah dalam kebudayaan Barat sering ditutup dengan praktek-praktek dari industri kecantikan dan media. Kita dapat secara intuitif membaca isi wajah-wajah orang-orang yang ada di sekitar kita di mana pembacaan tersebut dapat mengungkap lebih dari kata-kata yang ada. Namun kapasitas kesuka-riaan juga menjadikan kita ahli untuk memanipulasi wajah kita di depan publik, dan hal ini secara khusus benar untuk orang-orang yang ada di media atau publik figur. Senyum manis seorang bintang film dan lirikan seorang selebriti menjelaskan sedikit tentang kepribadian mereka. Hal ini akan berbeda jika mereka lepas dari kamera sehingga kita akan mampu melihat wajah yang sebenarnya dan karakter-karakter yang sangat berbeda akan terungkap.

Konteks ini juga memiliki dimensi gender, dalam sebuah masyarakat di mana gadis-gadis dan wanita muda mencari untuk meraih kesempurnaan wajah, yaitu wajah yang tidak tua. Kebudayaan kita memiliki konsep kecantikan yang dangkal sehingga hasil kerja keras menuju kesempurnaa adalah penyesuaian besar dan mahal menuju yang idealisme semu dimana hal tersebut menutup kecantikan yang sebenarnya. Dengan hal tersebut, taraf dan hidup manusia akan mudah tertutupi. Beberapa dari kita yang cukup beruntung telah menua bersama dengan pasangan kita atau bersama dengan anak-anak kita yang berkembang dari bayi hingga masa dewasa. Mereka sadar akan rahmat yang selalu memahat wajah-wajah mereka dan orang-orang yang dicintai, sehingga tua dan lemah hanyalah sisi lain dari kecantikan masa muda yang sangat menarik. Namun, dalam pencarian yang besar untuk menjadi muda dan cantik, kritik-kritik beberapa feminis memerdebatkan bahwa ada pandangan pornograpic yang memengaruhi kebudayaan modern kita, sehingga wajah-wajah wanita telah diobjekan seperti suatu komoditas di sebuah pasar modern.

Semua ini seharusnya membuat kita berhenti sejenak untuk berpikir sebelum kita menyalahkan orang-orang yang menutup diri dibalik kerudung sebagai jalan untuk berelasi dengan perdebatan bahwa wajah wanita telah mengubah konsep kefeminiman dan seksualitas. Beberapa wanita Muslim mendeskripsikan rasa kebebasan dan hormatnya dengan menjaga diri untuk tidak dilihat dalam konteks keberadaan sekual, yaitu ketika mereka harus bisa memposisikan diri dan mengalami di depan publik. Banyak dari kita akan memerdebatkan bahwa kerudung bukan suatu solusi untuk masalah ini, tetapi kita perlu mengetahui secara luas bahwa pandangan seksual laki-laki mendominasi ruang publik kita dalam gambaran dan keberadaan wanita. Komodifikasi dan eksploitasi seksualitas wanita menjadi sebuah ancaman yang besar bagi masyarakat daripada keputusan sekelompok minoritas Muslim untuk mengerudungi wajah mereka.

Kita juga perlu menilai kembali kesatuan antara penampilan fisik dan karakter moral yang melekat dalam novel wilde dan dalam persamaan kecantikan dengan kebaikan dan keburukan dalam kebejatan moral. Kekristenan memiliki hubungan yang ambigu dengan ide-ide ini, dan itu adalah penolakan orang-orang kristen dari estetika Yunani yang dipimpin oleh Nietzsche karena kecantikan bisa menjadi agama yang menghina dan merendahkan kemanusiaan. Ketika transplantasi wajah memberikan harapan kepada orang-orang yang sangat menderita dari jeleknya wajah seseorang, permintaan bertambah untuk kosmetik dan operasi wajah yang menunjukkan konsep dangkal akan kecantikan yang telah menjadi bentuk dari khayalan pribadi, seperti sebuah wajah yang atraktif dapat mengimbangi kurangnya rasa percaya diri dan penghargaan diri. Dalam pemahaman ini, wajah manusia menjadi jauh dari pemahaman akan wajah yang menjadi jendela menuju jiwa yang cantik. Itu adalah topeng yang dengan kelicikannya menunjukkan ketakutan, yaitu takut tidak memiliki sahabat. Penyanyi Michael Jackson mungkin contoh yang paling tragis yang telah keasyikan dengan penampilan luar yang menjadikan wajahnya rusak dan jelek dan itu bisa jadi merupakan jendela jiwanya.

Filsuf Yahudi, Emmanuel Levinas, memerdebatkan bahwa pengertian dasar kita akan tanggung jawab etis telah bangkit yaitu dengan sebuah wajah demi yang lain: utama dari banyak pengertian subjektifitas individu, adalah tak terkuranginya perbedaan dan kesensitifan bahwa aku memahami wajah seseorang yang menimbulkan suatu reaksi dalam diri, memperbolehkan diri menempati posisi dimana sesama membutuhkan aku. Ini adalah visi etis dengan kemampuan untuk menolong memfokuskan kembali pandangan kita dari dominasi estetika yaitu memperlihatkan dan menyenangkan kelompok industri tertentu daripada mengenali kecantikan dalam tuntutan yang biasa bahwa wajah kita dalam keinginan dan penderitaannya tergantung kita, berhadapan dengan kepercayaan dan kelemahan kita.

***

Sejak awal, kekristenan telah mengajak untuk membayangkan wajah Kristus. Orang-orang kristen rindu untuk memandang wajah Tuhan yang terinkranasi dalam diri Kristus. “Seperti orang-orang yang mencari wajahMu,” menurut liturgi semua orang kudus (liturgy of all saints). Karya seni orang-orang kristen telah mencoba untuk menampilkan sesuatu yang tidak dapat secara visual ditampilkan, yaitu kemanusiaan dan kodrat ilahi dalam diri Kristus. Kecantikan fisik dewa dewi Yunani diperlihatkan sebagai refleksi dari keilahian mereka, dan dalam kekristenan Kristus direpresentasikan sebagai pahlawan yang penuh perjuangan. Namun kekristenan juga mengakui Kristus sebagai pelayan yang menderita dimana dalam Yesaya tertulis “Ia tidak memiliki bentuk dan keagungan yang dapat kita lihat, tak ada yang lewat penampilan luar kita harus menginginkanNya” (Yes 53:2). Hal ini mengingatkan kita bahwa visi rahmat adalah yang kita lihat sebagai keindahan Tuhan dimana orang lain hanya melihat kejelekan, dan yang menaruh kasihan terhadap jiwa yang bobrok bahwa kita kadang memandang secara sekilas dibalik wajah yang menyenangkan dan estetis. Itu hanya terjadi ketika kita menentang godaan dari topeng indah bahwa kita mampu berpaling ke wajah manusia yang merupakan citra Tuhan, yang berdiri sebelum kita sebagai undangan dan tantangan untuk menuju diri sebagai manusia seutuhnya.

by. Tina Beattie