Saturday, April 21, 2007

Kebebasan

. Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial

Kebebasan eksistensial pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif. Arti ini tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Maksudnya adalah kita sanggup untuk menentukan tindakan kita sendiri. Kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan kita yang disengaja. Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan. Dentuman jantung dan pernafasan bukanlah tindakan karena berjalan tanpa disengaja. Tindakan adalah kegiatan yang disengaja. Tindakan dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak.
Sedangkan kebebasan sosial adalah kebebasan yang dihayati dalam hubungan dengan orang lain. Yang menjadi fokus ini adalah kita membela kebebasan terhadap usaha orang lain untuk menggerogotinya. Kebebasan sosial itu seputar kemampuan kita mengolah ruang gerak yang yang ada dalam masyarakat.
Maka apabila kita bicara tentang kebebasan, kita selalu mesti jelas dalam kepala kita mana yang kita bicarakan: yang eksistensial atau yang sosial? Kita harus bisa membedakan apakah kita bicara tentang kemampuan manusia untuk mengambil sikap sendiri (kebebasan eksistensial) atau tentang ruang gerak yang diberikan masyarakat kepada kita (Kebebasan sosial). Akan tetapi di lain pihak membedakan tidak berarti memisahkan. Kedua kebebasan itu hanyalah dua sudut dari satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia. Tetapi bagaimana bubungan antara dua kebebasan kita ini? Dapat dikatakan bahwa kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, Secara sederhana: kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita, sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita. Misalnya, kalau kita terkena tahanan rumah, maka kita tidak dapat menentukan diri untuk pulang ke kampung pada hari raya Lebaran. Kita hanya "bebas" untuk bergerak dalam batas-batas rumah kita dan pekarangannya. Kebebasan yang diberikan kepada kita oleh lingkungan sosial merupakan batas kemungkinan untuk menentukan diri kita sendiri.

2. Pembatasan kebebasan

Apakah kebebasan sosial manusia boleh dibatasi? Apakah masyarakat, misalkan orang tua, guru, masyarakat, negara dan banyak pihak lain yang biasanya menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita lakukan, berhak untuk membatasi kebebasan kita?
Bahwa kebebasan sosial kita terbatas, merupakan suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Di mana pun kita tak pernah akan diizinkan dan dibiarkan melakukan apa saja yang barangkali kita inginkan. Tetapi, dapatkah permbatasan kebebasan kita oleh masyarakat dibenarkan? Dan kalau dapat dibenarkan, maka sejauh mana?

a. Keterbatasan hakiki kebebasan sosial

Bahwa kebebasan sosial itu secara hakiki terbatas sifatnya, sebenarnya jelas dengan sendirinya. Manusia itu makhluk sosial, itu berarti bahwa manusia harus hidup bersama dengan manusia-manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama, dan dengan mempergunakan alam yang terbatas sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhannya. Hal itu berarti bahwa kita di satu pihak saling membutuhkan dan di lain pihak bersaing satu sama lain. Dan oleh karena itu kelakuan kita sesuaikan dengan adanya orang lain. Bagaimanapun juga, kepentingan semua orang lain yang hidup dalam jangkauan tindakan kita perlu kita perhatikan. Kalaupun kita tidak mau menghiraukan mereka, kita terpaksa akan melakukannya kalau tidak mau terus menerus bertabrakan.
Jadi pertanyaannya bukan apakah kebebasan sosial kita memang boleh dibatasi atau tidak. Sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam dunia yang terbatas, sudah jelas manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi kesewenangannya. Pertanyaan yang sebenarnya berbunyi: sejauh mana, dan dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Jadi bahwa kebebasan sosial kita terbatas, sudah jelas dengan sendirinya. Yang perlu ialah agar pembatasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Karena, kalaupun kebebasan kita harus dibatasi, hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat dibenarkan.

b. Legitimasi pembatasan kebebasan sosial
Alasan apa yang dapat membenarkan pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat? Kiranya jelas bahwa tidak mungkin di disebut segala alasan yang menuntut pembatasan kebebasan kita. Cukuplah kalau kita memahami alasan dasariah pembatasan itu. Pada hakikatnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia. Yang pertama ialah hak setiap manusia atas kebebasan yang sama. Keadilan menuntut agar apa yang kita tuntut bagi kita serdiri, pada prinsipnya juga kita akui sebagai hak orang lain. Oleh karena itu hak saya atas kebebasan saya menemukan batasnya pada hak sesama saya yang sama luasnya. Tidak masuk akal kalau di ruang kuliah saya man menggunakan dua kursi, selama masih ada siswa yang belum dapat duduk. Jadi kebebasan saya untuk, misalnya, meletakkan tas saya di mana saja, misalnya di kursi di samping saya duduk, mendapat batasan pada hak siswa lain untuk duduk di atas sebuah kursi. Atau dengan kata lain, kebebasan saya tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain.
Alasan kedua bagi permbatasan kebebasan saya ialah bahwa saya bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat. Saya mempunyai eksistensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan bantuan banyak orang lain, jadi berkat dukungan masyarakat, sebagaimana saya hidup berkat masyarakat begitu pula masyarakat memerlukan sumbangan saya. Maka masyarakat berhak untuk membatasi kesewenangan saya demi kepentingan bersama, baik dengan melarang kita mengambil tindakan-tindakan yang dinilai merugikan masyarakat, maupun dengan meletakkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus kita penuhi.
Siapa itu "masyarakat"? Itu tidak perlu kita bahas secara terperinci. Di sini masyarakat adalah segenap orang lain sejauh mempunyai fungsi khas dalam kehidupan bersama. Jadi orang tua, guru, atasan, pendeta, pemerintah, tetapi juga setiap sesama. Semua mempunyai wewenang tertentu (yang juga terbatas). Dalam rangka wewenang dan demi tujuan-tujuan khas masing-masing berhak untuk membatasi kebebasan kita seperlunya. Artinya sejauh perlu untuk mencapai tujuan tujuan yang wajar itu.
Maka kita dapat merangkum: Masyarakat berhak untuk membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai masyarakat dan demi kepentingan dan
kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-masing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang perlu untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Maka lembaga-lembaga masyarakat itu harus mempertanggungjawabkan pembatasan kebebasan anggota masyarakat. Masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenangwenang. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibenarkan.

c. Pertanggungiawaban terbuka
Justru agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut, pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara terbuka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Masyarakat dan pelbagai lembaga di dalamnya, dalam batas wewenang masing-masing, memang berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan oleh karena itu tidak perlu malu-malu melakukannya. Mereka hendaknya dengan terbuka mengemukakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang memang mereka anggap perlu. Dengan demikian masyarakat yang bersangkutan seperlunya dapat menuntut pertanggungjawaban. Kalau aturan-aturan dan larangan-larangan itu perlu, hendaknya hal itu diperlihatkan. Kalau perlunya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, peraturan-peraturan itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut.
Dalam hubungan ini saya mau menyinggung dua cara berbicara yang kadang-kadang dipergunakan untuk membatasi kebebasan seseorang atau seluruh masyarakat. Dikatakan bahwa kita tetap bebas, tetapi "demi kebebasan yang sebenarnya" kita hendaknya jangan melakukan apa yang tidak dikehendaki. Jadi kebebasan dibatasi atas nama "kebebasan yang sebenarnya". Cara omong ini licik karena dipakai untuk mengurangi kebebasan tanpa diakui dengan terus terang. Yang buruk pada cara pembatasan kebebasan ini ialah bahwa tidak dipertanggungjawabkan. Dengan argumen bahwa kebebasan yang sebenarnya tidak dibatasi, mereka yang membatasinya menghindar dari pertanggungjawaban. Jadi hendaknya dia memilih: membiarkan bebas atau tidak. Kalau tidak, katakan dengan terus terang dan berikan pertanggungjawaban. Kalau pertanggungjawaban itu masuk akal, pembatasan akan kita terima. Tetapi kalau kita memang bebas, hendaknya bebas sungguhan. Artinya kita bebas sekehendak kita, bahwa kita harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita secara moral terhadap kita sendiri, adalah lain masalah. Tetapi dari pihak masyarakat kebebasan (sosial) kita berarti: kita boleh menentukan sendiri, apa yang kita kehendaki.
Hal yang sama berlaku bagi istilah "kebebasan yang bertanggung jawab". Kebebasan eksistensial memang perlu dipergunakan secara bertanggiang jawab. Tetapi kalau istilah itu dipakai untuk mencegah kita dari memutuskan sendiri, apa yang mau kita lakukan, kita justru tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan apakah kita dapat bertanggung jawab atau tidak.
Sebagai contoh dapat diambil orang tua yang memberikan kebebasan bergaul dengan semua teman kelas kepada anaknya pada hari ulang tahun ke17; tetapi waktu mereka mendengar bahwa anaknya mau jalan-jalan dengan seseorang teman yang tidak dikehendaki, ia tidak diizinkan dengan alasan bahwa pergaulan itu tidak bertanggung jawab dan kebebasannya selalu harus yang bertanggung jawab. Atau, misalnya, pers sering dikatakan bebas melaporkan apa yang terjadi. Tetapi sesudah pers memberitakan sesuatu yang tidak berkenan, ia ditindak dengan argumen bahwa kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Omongan ini merupakan penyalahgunaan istilah tanggungjawab. Kalau suatu perbuatan memang tidak mau diizinkan, hendaknya dilarang dan larangannya dipertanggungjawabkan. Kalau tidak dilarang, pers dan anak yang ulang tahun tersebut berhak untuk memberitakannya. Kebebasan justru berarti bahwa keputusan apakah sesuatu sebaiknya diberitakan atau tidak menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Jadi yang menentukan adalah pers dan anak yang ulang tahun. Pembenaran pembatasan kebebasan dengan alasan "kebebasan bertanggung jawab" sebenarnya tidak lebih daripada pengakuan bahwa pembatasan yang dikehendaki tidak diberanikan dikemukakan dengan terus terang karena rupa-rupanya tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan umum. Jadi yang tidak bertanggung jawab adalah pihak yang mau membatasi kebebasan atas nama kebebasan yang bertanggung jawab itu.
Jadi kebebasan sosial manusia memang jelas boleh dan bahkan harus dibatasi, tetapi pembatasan itu harus dikemukakan dengan terus terang dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

d. Pembatasan Kebebasan

Ada pertanyaan: Bagaimana kita dapat mencegah sesorang masuk ke dalam kamar pribadi kita?
Cara pertama adalah dengan mengunci kamar tersebut. Cara itu aman. Siapapun tidak dapat masuk. Tidak perlu kita bedakan antara orang yang bertanggung jawab dan yang tidak. Anjing pun tidak akan bisa masuk.
Cara kedua ialah: kita dapat mengkondisikan seseorang sedemikian rupa, hingga begitu ia melihat pintu kamar kita, ia mulai bergetar ketakutan dan tidak sanggup untuk memegang pegangan pintu meskipun pintu sebenarnya tidak apa-apa dan tidak terkunci. Cara itu juga dapat dipakai untuk anjing atau sapi; sapi misalnya mudah belajar merasa takut terhadap kawat sederhana yang bertegangan listrik rendah; kalau kemudian listrik dimatikan, sapi untuk waktu cukup lama tidak berani menyentuh kawat yang membatasi perumputannya itu.Yang menarik ialah bahwa pembatasan fisik dan psikis tidak hanya berlaku bagi manusia melainkan juga bagi binatang. Inti cara itu ialah bahwa sikap pihak yang mau dirintangi agar jangan masuk tak pernah diperhitungkan. Pokoknya dia tidak sanggup masuk, entah karena secara fisik tidak dapat, entah karena ada hambatan psikis yang kuat.
Cara ketiga yaitu kita memasang tulisan pada pintu kamar: "dilarang masuk". Pembatasan kebebasan ini tidak lagi efektif terhadap anjing dan sapi, melainkan hanya terhadap manusia. Dan bukan terhadap sembarang orang, melainkan hanya terhadap orang yang mengerti bahasa Indonesia. Orang asing barangkali mengira itu nama penghuni dan justru masuk menanyakan seswuatu pada kita. Jadi cara ketiga ini mengandaikan pengertian. Hanya makhluk yang mempunyai pengertian memahaminya, Cara pembatasan ini disebut normatif. Artinya, kita diberi tahu tentang sebuah norma atau aturan kelakuan. Cara ini menghormati kekhasan manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Pembatasan fisik dan psikis meniadakan kebebasan eksistensial. Orang tidak dapat masuk. Jadi kemauannya, rasa tanggung jawabnya, tidak memainkan peranan. Tetapi pembatasan normatif tentu menghormati kebebasan eksistensial manusia. Pembatasan itu berarti bahwa ia tidak boleh masuk. Dan itu berarti bahwa ia tetap dapat saja masuk apabila ia tidak mau memperhatikan pemberitahuan itu.
Jadi pembatasan kebebasan sosial secara normatif tetap menghormati martabat manusia sebagai makhluk yang dapat menemukan sendiri sikap dan tindakannya. Kebebasan eksistensial malah ditantang. Sekarang akan kelihatan apakah ia seorang yang tahu diri dan tahu bertanggung jawab atau tidak. Kalau kita hidup dalam sebuah asrama, masing-masing dalam kamarnya sendiri, dan menurut kebiasaan kamar tidak pernah dikunci, dan pada suatu hari ketahuan bahwa salah satu penghuni mengunci pintu kamarnya. Yang lain mesti merasa terhina karena penguncian itu mereka rasakan sebagai tanda bahwa mereka tidak dipercayai.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa satu-satunya cara yang wajar untuk membatasi kebebasan sosial adalah secara normatif, melalui pemberitahuan. Jadi yang harus dibatasi adalah kebebasan normatif, bukan kebebasan fisik dan rohani. Hanya dengan cara ini martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi, bebas (secara eksistensial) dan bertanggung jawab dihormati sepenuhnya. Pemaksaan selalu merendahkan manusia karena martabatnya itu dianggap sepi dan ia direndahkan pada tingkat rendah. Maka pembatasan kebebasan sosial manusia yang memang perlu harus dilakukan secara normatif, jadi dengan menetapkan peraturan, dengan cara pemberitahuan dan bukan dengan paksaan.
Akan tetapi, bagaimana kalau orang tidak mau tahu dan tidak bertanggung jawab? Jadi kalau ia tidak mau taat kepada peraturan? Kemungkinan itulah yang melahirkan paham hukum. Hukum adalah sistem peraturan kelakuan bagi masyarakat yang bersifat normatif, tetapi dengan ancaman tambahan bahwa siapa yang tidak menaatinya, akan ditindak. Tadi kita sudah melihat bahwa pembatasan kesewenangan tiap-tiap manusia demi kebebasan dan hak semua orang dan demi kepentingan bersama adalah wajar dan perlu. Olen karena itu masyarakat juga berhak untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang dianggapnya penting, bagaimanapun juga tidak dilanggar. Dan oleh karena itu masyarakat juga berhak untuk seperlunya mengambil tindakan untuk menjamin bahwa aturan-aturan itu tetap dihormati.
Tindakan macam apa yang boleh diambil? Jawabannya ialah: tindakan fisik! Jadi orang yang memang tidak mau tahu, boleh dipaksa untuk taat dan boleh seperlunya dikenai sangsi dalam bentuk hukuman. Jadi orang yang mengancam orang lain boleh ditangkap, diborgol dan dijatuhi hukuman penjara. Semua tindakan itu mengurangi kebebasan fisiknya, sama halnya dengan kerbau yang diikat di kandangnya. Bahwa tindakan fisik yang sebetulnya tidak wajar diambil, adalah kesalahannya sendiri karena ia tidak menanggapi pembatasan normatif. Yang tidak pernah dapat dibenarkan sebagai cara untuk membuat orang taat adalah manipulasi psikis. Manipulasi psikis secara moral selalu buruk dan harus dinilai jahat, karena merusak kepribadian orang dari dalam. Paksaan fisik hanya mengenai kejasmaniahan manusia. Apa yang dipikirkannya, sikap hatinya, jadi sumber daya pnentuannya sendiri tidak tersentuh. Dalam arti ini betul bahwa dalam belenggu pun orang masih dapat tetap bebas. Tindakan fisik yang perlu tidak mau memperkosa otonomi seseorang terhadap dirinya sendiri, melainkan hanya mencegah agar ia jangan merugikan orang lain. Sedangkan, manipulasi psikis merusak manusia dari dalam, Maka tekanan psikis, menakut-nakuti, penggunaan pelbagai obar bius, sugesti, penyiksaan dengan tujuan untuk memperlemah ketekadan batinnya tidak pernah dapat dibenarkan, melainkan selalu harus dikutuk kotor dan jahat.
Kebebasan sekali lagi tidak selalu mengada-adakan aturan dan tanggung jawab. Asal kita telah sadar akan kebebasan kita, maka aturan dan tanggung jawab akan menjadi bagian atau kebutuhan dalam diri kita. Jadi sebagai manusia bebas, kita harus mampu melampaui aturan dan tanggung jawab. Hidup tanpa aturan hanyalah ilusi belaka.


Bdk. Etika Dasar oleh Franz Magnis Suseno